KOMMUNIKASI
MASYARAKAT MADURA
Eksistensi Kaum Blater-an terhadap carok dan
remoh di Desa Jaddih Kec. Socah Kab. Bangkalan, Madura
DI SUSUN OLEH :
Ø Annifatul Jannah : 100531100035
Ø Badrus sholeh : 100531100052
Ø Moh. Affan : 100531100040
Ø Moh. Syarifuddin : 100531100045
Ø Apriyanto tri .w : 100531100025Ø
Alfan Roziqi : 1005311000
PRODI
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS
TRUNUJOYO MADURA
2013
COVER,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!
Daftar Isi,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!
Kata
Pengantar,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!
Abstrak,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!
BAB I
Pendahuluan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!
1.1. Latar
Belakang,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,1
1.2. Rumusan
Masalah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,2
1.3. Tujuan
Penelitian,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,2
1.4. Metodologi
Penelitian,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,2
BAB II
Pembahasan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!
2.1. Peran Blater
Terhadap Carok di desa Jaddih,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,6
2.1.1. Clurit
Sebagai Alat Carok Oleh kaum Blater,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,7
2.2. Eksistensi
Blater Terhadap Remoh di desa Jaddih,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,10
BAB III
Penutup,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!!
1.
Kesimpulan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,12
2.
Saran,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,12
Kata
Pengantar
Segala puji kami ucapkan kepada Allah SWT, atas
izinNya kami dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini. Adapun judul
Penelitian ini adalah ”Eksistensi
Blater Terhadap Carok Dan Remoh Di Desa Jaddih”. Proposal Penelitian
ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi ujian akhir Mata Kuliah
Komunikasi Masyarakat Madura pada Jurusan Ilmu Komunikasi Bisnis, Fakultas Ilmu
Sosial dan Budaya, Unuversitas Trunojoyo Madura. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:
1. Orang
tua kami yang telah membiayayi perkuliahan ini, sehingga saya sudah tidak terasa
mau hampir lulus. Amin.
2. Ibu
Dosen pengampu Mata Kuliah Komunikasi Masyarakat Madura yang telah memberikan
materi tentang kebudayaan Madura.
3. Teman
kami yang satu jurusan yang telah berpartisipasi dalam penyelesaian proposal
penelitian ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada
orangtua penulis, saudara-saudara penulis dan terutama kepada adek penulis yang menjadi penyemangat untuk terus
melanjutkan penelitian ini. Kesabaran, do’a dan dorongan mereka sangat besar
artinya dalam penyelesaian proposal penelitian ini. Semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bangkalan, 20 Juni 2013
Abstrak
Orang Madura yang melakukan
tindakan kekerasan, dalam bentuk carok untuk membela harga diri dan
kehormatan, baik kerena dipicu oleh
kasus - kasus atau yang sejenisnya akan dinilai, dan dipandang memiliki
keberanian sebagai seorang blater. Orang Madura yang mengambil jalan ‘toleran’,
bukan tindakan carok ketika dihadapkan dengan kasus-kasus pembelaan harga diri akan dipandang oleh masyarakat Madura
sebagai orang atau keluarga yang tidak memiliki jiwa keblateran. Banyak kasus
menunjukkan di dalam masyarakat, yakni seseorang yang sebelumnya dipandang
bukan sebagai golongan blater, disebut sebagai blater oleh warga lainnya karena
berani melakukan carok. Apalagi menang dalam adu kekerasan carok itu. Jadi
penyebutan masyarakat atas sosok blater dalam hal ini sangat erat kaitanya
dengan keberanian melakukan carok dalam menghadapi konflik dan permasalahan di
dalam lingkungan masyarakat. Di sini carok dijadikan sebagai arena legitimasi
untuk mengukuhkan status sosial seseorang sebagai seorang blater. Jadi
identitas keblateran dapat merujuk pada sifat pemberani, angkuh dan punya nyali
menempuh jalur kekerasan dalam penyelesaian konflik harga diri. Meskipun carok
bukanlah satu -satunya arena untuk melegitimasi status seseorang menjadi
blater. Masih banyak arena sosial lainnya yang membentuk dan memproses
seseorang menjadi blater. Misalnya, kedekatan seseorang dengan jaringan
kriminalitas dan remoh blater. Begitulah antara lain reproduksi
kultural blater di masa kini.
Dinamika yang berlangsung
menciptakan kultur dan komunitas tersendiri di dalam masyarakat Madura. Tak
heran bila seseorang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai seorang
blater eksistensinya memiliki posisi sosial tertentu di dalam masyarakat
Madura. Sosok blater selalu disegani dan dihormati secara sosial. Sangat jarang
sekali ditemukan seseorang yang sudah
dikategorikan sebagai blater dipandang rendah secara sosial.
Keyword :Blater, Carok, Remoh
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blater sebuah
julukan terhadap Masyarakat Madura yang pada intinya adalah Sesepuh Masyarakat
sekitar. Tidak semua orang bisa disebut blater, hanya orang-orang tertentu yang
bisa dijuluki dengan kata ini. Maka bisa dikatakan juga nama Blater adalah
sebuah penobatan dari Masyarakat di mana belater itu berada.
Sebuah penobatan
belater tentunya bermacam-macam, ada yang menobati karna kewibawaannya[1]
ada juga karna karna kabengallah (keberaniannya). Bagi Masyarakat Madura blater
merupakan salah satu tokoh terpenting selain dari pada pemimpin yang formal
maupun nonformal (kiyai).
Menurut K.H.
Musta’in Romli, beliau mengatakan bahwasanya sebuah desa tanpa adanya seorang
blater khususnya di daerah Jaddih maka desa tersebut bisa dikatakan desa yang
miris, karna kenapa ? adanya seorang blater di desa itu bisa menjadi orang yang
bisa di Rembugghi (musyawarah), yang ngetoaeh (mensesepuhi) dalam segala
bidang, khususnya remoh itu sendiri.
Keberadaan
blater di desa Jaddih kebanyakan sering melakukan carok dan remoh, tapi carok
sekarang sudah terkikis dengan berjalannya zaman, sedangkan remoh masih populer
sampai saat ini. Bahkan remoh menjadi barometer bagi sebagian masyarakat di
desa Jaddih. Dengan semakin banyaknya teman yang hadir maka semakin banyak pula
kaum blateran yang hadir juga. Dengan demikian keberadaan carok dan remoh sosok
blater jadi eksis keberadaannya melalui hal tersebut, eksistensinya selalu
beririsan dengan relasi dan kuasa serta kepentingan antar aktor di dalam
struktur sosial masyarakat (Foucault; 2002).
Dari sudut
pandang sosial, blater dapat muncul dari strata dan kelompok sosial sosial
manapun di dalam Masyarakat Madura. Apakah itu dalam lingkungan dengan latar
belakang sosial keagamaan yang ketata (baca: santri), atau lingkungan sosial
blater. Tak jarang ditemukan pula, seorang yang sebelumnya pernah menjadi
santri di pondok pesantren dalam perjalanan hidupnya berubah menjadi blater.
Blater yang memiliki latar belakang santri, umumnya pandai mengaji dan membaca
kitab kuning. Bagi masyarakat Madura sendiri bukanlah sesuatu yang aneh bila
seorang blater pandai mengaji dan membaca kitab kuning karena dalam tradisi
masyarakat Madura, pendidikan agama diajarkan secara kuat melalui langgar
(mosolla), surau, masjid dan lembaga pesantren yang bertebaran di hampir setiap
setiap kampung desa. Konteks inil pula yang membuat blater dengan latar
belakang santri memiliki jaringan kultural dan tradisi menghormati sosok kiyai.[2]
Jadi, eksisnya komunitas blater tidak terlepas juga dengan seberapa eksis
terhadap carok dan remoh.
Carok,,, satu
kata ini sudah tidak tabu lagi pada seluruh masyarakat Madura, terutama
masyarakat desa Jaddih. Mereka menganggap carok adalah sesuatu yang pengidentikannya
dengan pembunuhan sadis, pertarungan senjata, duel hidup dan mati atas nama
kehormatan, pembunuhan dendam 7 turunan atau bisa jadi pembantaian masa. Carok
juga selalu sejajar dengan budaya suku Madura, sebuah suku yang konon berwatak
keras, temperamental dan arogan (meski tidak semua demikian). Dalam banyak
kasus, setiap pembunuhan yang dilakukan oleh suku Madura, maka kata Carok akan
selalu muncul. Yang paling mengerikan lagi, carok selalu berdampingan dengan
nama sebuah senjata yang disebut Are’ (Clurit). Dan yang paling dramatis justru
setiap kejahatan, aksi perampokan selalu identik dengan sanjata yg satu ini.
Carok
berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa
Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilas).[3]
Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep,
Carok merupakan satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli
dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah
permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah
dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.
Pertengkaran
tersebut biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering
terjadi antar penduduk desa. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan,
perselingkuhan, perebutan tanah, bisa juga dendam turun temurun selama
bertahun-tahun. Istilahnya, “daripada putih mata lebih baik putih tulang”.
Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.[4]
Dalam rangka mereduksi carok maka
kaum blateran berkumpul bersama dalam tujuan untuk bermusyawarah, dengan adanya
budaya ini yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater
Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis
kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung
yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan
duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.[5]
Pada awalnya budaya ini cukup topcer
dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang
lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing sesepuh
blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari
penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.
Sayangnya kegiatan ini kemudian
bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang
punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa
kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI.
Celakanya lagi, sang sesepuh yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan
memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan.
Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang
baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan
baru.
Kaum Blateran juga turut mewarnai
politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah
itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun
kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih
banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.
Banyak klebun Blater tersebut justru
sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus
desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara
maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.
1.2. Rumusan
Masalah
1.
bagaimana peran blater terhadap carok dan remoh di
desa jaddih ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan metodologi yang dilakukan oleh kelompok kami yaitu ada dua tujuan, yang
pertama kelompok dan yang kedua khalayak ramaiu :
1)
Untuk kelompok sendiri
ü Mengetahui
yang sesusungguhnya arti dari blater, carok dan remoh itu sendiri.
ü Mengetahui
sejauhmana peran yang di lakukan blater terhadap carok dan remoh yang ada di
desa jaddih.
ü Dalam kasus
ini peneliti berharap mengerti akan budaya madura yang asli dan bukan budaya
yang asli.
ü Memenuhi
syarat ujian akhir smester enam.
2)
Untuk Khalayak Ramai ( Umum)
ü Menginformasikan
terhadap khalayak ramai agar supaya dengan penelitian yang kelompok kami
lakukan bisa bermanfaat, setidaknya menambah refrensi terhadap yang ingin
melakukan penelitian selanjutnya dalam bidang ini.
ü Bemberikan
pengetahuan terhadap masyarakat madura, karna menurut peneliti masyarakat
madura itu terutama desa Jaddih sudah banyak yang tidak mengerti akan arti
sebenarnya blater, carok dan remoh. Dengan ini kelompok kami berharap bisa mengembalikan
jati diri masyarakat madura itu sendiri.
1.4. Metodologi
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan pendekatan
kualitatif karna mengacu pada eksistensi blater terhadap carok dan remoh yang
terjadi di desa Jaddih Kec. Socah Kab. Bangkalan. Sehingga data yang peneliti kumpulkan ada dua
macam. Yang pertama data primer (wawancara) dengan sesepuh masyarakat jaddih,
sedangkan data yang kedua adalah data sekunder ( buku dan artikel) yang
kemudian oleh peneliti di analisis keterkaitannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Boleh jadi,
ketika mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang akan terbayang alam
yang tandus, perilaku yang kasar dan arogan bahkan menakutkan. Citra negatif
yang paling kentara adalah mengenai carok dan clurit. Citra negatif ini
kemudian juga melahirkan sikap pada sebagian orang Madura, utamanya kaum
terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai orang Madura, karena Madura
identik dengan keterbelakangan atau kekasaran. Keadaan ini harus diakhiri.
Untuk itu,
dibutuhkan suatu penulusaran lebih lanjut demi terbukanya wawasan masyarakat
mengenai nilai-nilai budaya Madura yang selama ini disalah persepsikan. Upaya
tersebut dapat dimulai dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari
Budaya Madura. Inventarisasi yang cermat terhadap nilai-nilai sosial budaya
yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur perlu dilakukan.
Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan melalui tinjauan sejarah serta dalam
ungkapan-ungkapan Madura yang banyak memuat bhabhurughan becce’.
(nasehat-nasehat baik).
Dalam
tulisan kali ini kami akan memabagi pembahasan ke dalam 2 kelompok. Pertama,
Peran Blater Terhadap Carok dan Remoh di desa Jaddih, Kedua eksistensinya
blater terhadap carok dan remoh di desa jaddih.
2.1. Peran Blater Terhadap Carok di desa Jaddih Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan, Madura.
Keblateran
dalam banyak hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat di
masyarakat pedesaan. Tak heran bila konstruksi tentang keblateran sangat terkait pula dengan konstruksi carok dan remoh di
dalam masyarakat. Blater adalah sosok orang yang kuat di Madura, baik secara
fisik maupun materil.
Memang
istilah blater hanya popluer di Madura bagian barat (Bangkalan dan Sampang).
Sedangkan di Madura bagian timur (Pamekasan dan Sumenep) lebih populer dengan
sebutan bajingan. Dari sekian banyak elite jagoan yang saya wawancarai,
kesimpulan yang dapat dipetik, ternyata ada tingkatan dan kelas tersendiri yang
membedakan pengertian bajingan dengan blater. Potret bajingan lebih kental
bermain pada dunia hitam dan memiliki perangai yang kasar dan keras. Sedangkan
blater sekalipun dekat dengan kultur kekerasan dan dunia hitam, namun perangai
yang dibangun lebih lembut, halus dan memiliki keadaban. Di kalangan mereka
sendiri dalam mempersepsikan diri, blater adalah bajingan yang sudah naik kelas
atau naik tingkat sosialnya.[6]
Dalam
kondisi yang seperti ini makanya seorang yang di sebut blater sering
menggunakan kebelaterannya terhadap dunia carok dan remoh, dalam perannya
blater terhadap carok sangat berpengaruh besar, karna seorang blater kebanyakan
mempunyai sifat keberaniannya, istilah yang sering di gunakan adalah “daripada
putih mata lebih baik putih tulang” dengan katalain daripada harus menanggung
malu lebih baik mati. Sehingga keberanian itulah yang sering menjadi faktor
terjadinya peristiwa carok.
Adapun
penyebab orang blater melakukan carok tentunya ada beberapa faktor yang melatar
belakangi di antaranya sebagai berikut;
o
Persetujuan sosial melalui ungkapan – ungakpan.
Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur
tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya : Mon lo’ bangal acarok
ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku
sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’
(laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya
tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang mati daripada berputih
mata menanggung malu).
o
Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok
refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara
berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman
kampong meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong
meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas
cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai
perendahan martabat seluruh warga kampong meji.
o
Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian
pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater.
Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan,
dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri.
Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Figur
blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai sosok
pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi kepala
desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada
kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam. Tidak seperti
figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan.
Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang
blater atau sebaliknya. (Wiyata, 2002)
o
Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo.
Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan
pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi
ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk
membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang
dalam jumlah besar dalam tempo semalam.
o
Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk
nabang (memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap
polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura.
Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente
ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab
memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.[7]
2.1.1.
Clurit Sebagai Alat Carok Oleh kaum Blater
Carok dan celurit laksana dua sisi
mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Celurit yang telah digunakan
dalam praktek carok biasanya disimpan oleh keluarganya sebagai benda kebanggaan
keluarga. Lumuran darah yang menempel pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti
eksistensi dan kapasitas leluhur mereka sebagai orang jago (blater) ketika
masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan secara turun-temurun kepada
anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit merupakan simbol dari
proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur mereka. Simbol ini
mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori melainkan lebih sebagai
media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu karena menang carok dan
kebanggan sebagai keturunan blater.
Keberadaan celurit bagi kaum blater
sangat penting artinya baik sebagai sekep maupun sebagai pengkukuhan dirinya
sebagai oreng jago. Nyekep merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh
kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka
tidak lupa untuk membawa senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh
atau menghadiri acara remo.
Cara orang Madura nyekep celurit
biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam lainnya. Celurit biasanya
diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan posisi pegangan berada di
atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah
dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki
madura khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan dari
kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana untuk
melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.
Begitu berharganya keberadaan
senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan orang Madura ”Are’ kancana shalawat”
(celurit merupakan teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk
selalu membaca sholawat pada setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak
bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura merasa tidak cukup hanya
berlindung kepada agama/Tuhan saja, sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai
sarana melindungi dan mempertahankan diri.
Carok juga selalu identik dengan
senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk
menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden
Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa
Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka
hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya
prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung
oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari
yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura,
senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh
Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris
atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan
Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.
Menurut Budayawan Celurit Emas
D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosophy yang cukup dalam. Dari
bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian
masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.
2.2. Eksistensi Blater Terhadap Remoh di desa Jaddih Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan, Madura.
Tingkat pendidikan masyarakat Madura
memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan.
Hal ini terbukti di daerah Bangkalan salah satunya di desa Jaddih. Di desa
Jaddih rata-rata masyarakatnya tidak memiliki pendidikan yang tinggi disamping
pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai. Tingkat kematian
atas nama carok didaerah tersebut nyaris setiap minggu ada. Asumsi beberapa
ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski
sama-sama suku Madura, namun orang Jaddih jauh lebih desa ketimbang daerah
lainnya.
Dari kejadian tersebut akhirnya kaum
blateran berinisiatif untuk melakukan diskusi dengan sesama kaum blater dalam
angka mencari solusi yang meredamkan carok.
Ada budaya lain yang pada awal
berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi
pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan
dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling
membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang
merupakan pengikat dari kumpulan ini.
Pada awalnya budaya ini cukup topcer
dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang
lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah
blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari
penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.
Sayangnya kegiatan ini kemudian
bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang
punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa
kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI.
Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan
memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan.
Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang
baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan
baru.
Kaum Blateran juga turut mewarnai
politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah
itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun
kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih
banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.
Banyak klebun Blater tersebut justru
sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus
desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara
maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.
Dewasa ini kaum blateran sudah mulai
sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi
oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu
peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas
lurah Madura.
Bila kyai
dekat dengan tradisi tahlilan dan pengajian, maka blater dekat dengan tradisi
sandur, remoh dan kerapan sapi. Di Madura ada tradisi remo sebagai ajang
berkumpulnya para jagoan dari seluruh wilayah terutama di desa Jaddih di mana
peneliti melakukan observasi. Sebagai sebuah tradisi, remoh sudah menjadi
institusi sosial dan budaya yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi bagi
pesertanya. Tidak hanya manfaat memperoleh keuntungan ekonomi, tapi remoh juga
menjadi ajang yang sangat prestisius bagi blater. Secara kultural, remoh
sebagai media “persaingan” untuk memperoleh pengakuan sosial bagi blater dalam
masyarakat.
Tradisi remoh
yang muncul dan mengakar di pulau Madura, ternyata juga berkembang dalam
masyarakat urban. Tradisi tersebut masih berlangsung sekalipun berada dalam
masyarakat urban yang memiliki tingkat heterogenitas baik suku, bahasa maupun
agama. Mereka berkumpul dalam sebuah paguyuban atau perkumpulan, berinteraksi
dan saling mengenal sesama orang Madura di perantauan dengan intensitas yang
cukup stabil.
Penulisan
proposal penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan yang
nyata sesuai data lapangan tentang tradisi remoh mulai persiapan, tata cara
pelaksanaan dan fungsi sosialnya. Di samping itu, untuk meneliti solidaritas
sosial dalam masyarakat Madura urban dan yang mempengaruhi ikatan solidaritas
mereka melalui tradisi remoh. Dengan
demikian, diharapkan dapat bermanfaat secara akademis dan praktis. Secara
teoritis dan akademis, proposal penelitian ini akan menjadi sumbangan sederhana
untuk mendapatkan informasi tentang tradisi remoh dan gambaran masyarakat
Madura secara objektif. Adapun secara praktis, untuk menambah khazanah
kepustakaan, khususnya mengenai tradisi remoh di Madura dan dalam masyarakat
Madura urban serta ikatan solidaritas sosial mereka. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yaitu studi kasus. Hasil yang
diperoleh dari pengambilan data terhadap delapan informan anggota remoh
menunjukkan bahwa sebelumnya terdapat undangan remoh yang disebarkan kepada
anggota remoh. Remoh dimulai jam 10.00 atau 12.00 s.d. 24.00. Akan tetapi di
Madura remoh selalu diadakan pada malam hari mulai pukul 22.00 dan berakhir
sekitar pukul 05.00 pagi. Tiap anggota remoh menyerahkan sejumlah uang dalam
pelaksanaan remoh (bubuwan). Semakin besar menyerahkan bubuwan semakin besar
pula jumlah uang yang diperoleh saat anggota remoh menjadi tuan rumah remoh.
Remoh dilaksanakan secara bergiliran sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan
pada masing-masing paguyuban. Tradisi remoh memiliki tiga manfaat, yaitu
ekonomi, sosial dan spiritual keagamaan. Aspek sosialnya, remo dengan wadah
paguyuban menjadi tempat berkumpul dan mempererat ikatan emosional mereka.
Sebagai sebuah tradisi, remoh tidak bisa dilepaskan dengan dunia keseharian
orang Madura itu sendiri. Tradisi seperti remoh dapat dikatakan menjadi
identitas yang tak terpisahkan bagi orang Madura dimana pun mereka melangkah
dan menetap. Sehingga tradisi ini ikut memperkokoh ikatan sosial kemaduraan dan
mempererat tali emosional etnisitas mereka. Dalam perspektif Durkheim terkenal
dengan solidaritas mekanik.
Akhirnya
bisa di ditarik benang merah dari pembahasan diatas bahwasanya kaum blateran
sangat berpengaruh terhadap adanya carok dan remoh, karna mereka sudah di
anggap sesepuh oleh kalangan masyarakat biasa. Dari anggapan inilah kaum
blateran seperti berlomba dalm mencari status sosial dalam ranah carok dan
remoh.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Memang
istilah blater hanya popluer di Madura bagian barat (Bangkalan dan Sampang)
terutama pada masyarakat Jaddih. Sedangkan di Madura bagian timur (Pamekasan
dan Sumenep) lebih populer dengan sebutan bajingan. Dari sekian banyak elite
jagoan yang saya wawancarai, kesimpulan yang dapat dipetik, ternyata ada
tingkatan dan kelas tersendiri yang membedakan pengertian bajingan dengan
blater. Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan memiliki
perangai yang kasar dan keras. Sedangkan blater sekalipun dekat dengan kultur
kekerasan dan dunia hitam, namun perangai yang dibangun lebih lembut, halus dan
memiliki keadaban. Di kalangan mereka sendiri dalam mempersepsikan diri, blater
adalah bajingan yang sudah naik kelas atau naik tingkat sosialnya.
Bukan dalam
bentuk keberaniannya saja kaum blateran itu keberadaannya di akui, namun dalam
hal carok dan remoh mereka bahkan lebih diakui lagi, dengan keberanian dan
kewibawaannya kaum blateran di anggap sesepuh yang bisa di jadikan panutan bagi
masyarakat sekitar, khususnya pada masyarakat Jaddih.
2.
Saran
Demikian
proposal ini oleh peneliti di sajikan. Dari pengamatan peneliti sebenarnya
masyarakat madura sudah salah mempersepsikan lagi yang namanya blater, carok
dan remoh. Dari kesalah persepsian ini peneliti ingin menyampaikan kepada
masyarakat Madura khususnya pada Masyarakat Desa Jaddih tentang arti yang
sesungguhnya mengenai tiga hal tersebut.
Blater,
carok dan remoh sesunggunya jadi tradisi dan budaya masyarakat Madura. Sungguh
ironis ketika masyarakatnya sendiri tidak mengerti akan makna dari ketiga hal
tersebut. Maka perlu di lestarikan dan di jaga kemurnian Blater, Carok dan
Remoh.
[1]
Kewibawaan yang di maksudkan adalah ekatodusih (disegani). Hasil wawancara
terhadap sesepuh masyarakat setempat di desa jaddih.
[2] Rozaki
Abdur. Social origin dan politik kuasa
blater di madura. Yogyakarta 2009.
[3] Amin
Mohammad, Carok Bukan Asli Budaya Madura,
Artikel Internet, 25-10,89.
[4]
Wikipedia. Carok satu lawan satu.
[5] Amin
Mohammad, Op. Cit.
[6] Rozaki,
Tesis UGM, 2009.
[7] Rozaki
Abdur. Social origin dan politik kuasa
blater di madura. Yogyakarta 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar