Eksistensi Kaum Blater-an terhadap carok dan remoh di Desa Jaddih Kec. Socah Kab. Bangkalan, Madura

KOMMUNIKASI MASYARAKAT MADURA
 Eksistensi Kaum Blater-an terhadap carok dan remoh di Desa Jaddih Kec. Socah Kab. Bangkalan, Madura






DI SUSUN OLEH :
                                                 Ø  Annifatul Jannah      : 100531100035 
Ø  Badrus sholeh            : 100531100052 
Ø  Moh. Affan                : 100531100040 
Ø  Moh. Syarifuddin      : 100531100045 
Ø  Apriyanto tri .w         : 100531100025Ø   
Alfan Roziqi              : 1005311000


PRODI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNUJOYO MADURA
2013




COVER,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!

Daftar Isi,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!
Kata Pengantar,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!
Abstrak,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!
BAB I
Pendahuluan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!
1.1.   Latar Belakang,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,1
1.2.   Rumusan Masalah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,2
1.3.   Tujuan Penelitian,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,2
1.4.   Metodologi Penelitian,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,2
BAB II
Pembahasan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!
2.1.   Peran Blater Terhadap Carok di desa Jaddih,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,6
2.1.1.      Clurit Sebagai Alat Carok Oleh kaum Blater,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,7
2.2.   Eksistensi Blater Terhadap Remoh di desa Jaddih,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,10
BAB III
Penutup,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!!
1.      Kesimpulan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,12
2.      Saran,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,12


 

Kata Pengantar

Segala puji kami ucapkan kepada Allah SWT, atas izinNya kami dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini. Adapun judul Penelitian ini adalah ”Eksistensi Blater Terhadap Carok Dan Remoh Di Desa Jaddih”. Proposal Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi ujian akhir Mata Kuliah Komunikasi Masyarakat Madura pada Jurusan Ilmu Komunikasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Unuversitas Trunojoyo Madura. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:
1.      Orang tua kami yang telah membiayayi perkuliahan ini, sehingga saya sudah tidak terasa mau hampir lulus. Amin.
2.      Ibu Dosen pengampu Mata Kuliah Komunikasi Masyarakat Madura yang telah memberikan materi tentang kebudayaan Madura.
3.      Teman kami yang satu jurusan yang telah berpartisipasi dalam penyelesaian proposal penelitian ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua penulis, saudara-saudara penulis dan terutama kepada adek  penulis yang menjadi penyemangat untuk terus melanjutkan penelitian ini. Kesabaran, do’a dan dorongan mereka sangat besar artinya dalam penyelesaian proposal penelitian ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.









Bangkalan, 20 Juni 2013





Abstrak
Orang Madura yang melakukan tindakan kekerasan, dalam bentuk carok untuk membela harga diri dan kehormatan,   baik kerena dipicu oleh kasus - kasus atau yang sejenisnya akan dinilai, dan dipandang memiliki keberanian sebagai seorang blater. Orang Madura yang mengambil jalan ‘toleran’, bukan tindakan carok ketika dihadapkan dengan kasus-kasus pembelaan harga  diri akan dipandang oleh masyarakat Madura sebagai orang atau keluarga yang tidak memiliki jiwa keblateran. Banyak kasus menunjukkan di dalam masyarakat, yakni seseorang yang sebelumnya dipandang bukan sebagai golongan blater, disebut sebagai blater oleh warga lainnya karena berani melakukan carok. Apalagi menang dalam adu kekerasan carok itu. Jadi penyebutan masyarakat atas sosok blater dalam hal ini sangat erat kaitanya dengan keberanian melakukan carok dalam menghadapi konflik dan permasalahan di dalam lingkungan masyarakat. Di sini carok dijadikan sebagai arena legitimasi untuk mengukuhkan status sosial seseorang sebagai seorang blater. Jadi identitas keblateran dapat merujuk pada sifat pemberani, angkuh dan punya nyali menempuh jalur kekerasan dalam penyelesaian konflik harga diri. Meskipun carok bukanlah satu -satunya arena untuk melegitimasi status seseorang menjadi blater. Masih banyak arena sosial lainnya yang membentuk dan memproses seseorang menjadi blater. Misalnya, kedekatan seseorang dengan jaringan kriminalitas dan  remoh   blater. Begitulah antara lain reproduksi kultural blater di masa kini.
Dinamika yang berlangsung menciptakan kultur dan komunitas tersendiri di dalam masyarakat Madura. Tak heran bila seseorang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai seorang blater eksistensinya memiliki posisi sosial tertentu di dalam masyarakat Madura. Sosok blater selalu disegani dan dihormati secara sosial. Sangat jarang sekali ditemukan seseorang  yang sudah dikategorikan sebagai blater dipandang rendah secara sosial.

Keyword :Blater, Carok, Remoh


                                                                                                                                        
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Blater sebuah julukan terhadap Masyarakat Madura yang pada intinya adalah Sesepuh Masyarakat sekitar. Tidak semua orang bisa disebut blater, hanya orang-orang tertentu yang bisa dijuluki dengan kata ini. Maka bisa dikatakan juga nama Blater adalah sebuah penobatan dari Masyarakat di mana belater itu berada.
Sebuah penobatan belater tentunya bermacam-macam, ada yang menobati karna kewibawaannya[1] ada juga karna karna kabengallah (keberaniannya). Bagi Masyarakat Madura blater merupakan salah satu tokoh terpenting selain dari pada pemimpin yang formal maupun nonformal (kiyai).
Menurut K.H. Musta’in Romli, beliau mengatakan bahwasanya sebuah desa tanpa adanya seorang blater khususnya di daerah Jaddih maka desa tersebut bisa dikatakan desa yang miris, karna kenapa ? adanya seorang blater di desa itu bisa menjadi orang yang bisa di Rembugghi (musyawarah), yang ngetoaeh (mensesepuhi) dalam segala bidang, khususnya remoh itu sendiri.
Keberadaan blater di desa Jaddih kebanyakan sering melakukan carok dan remoh, tapi carok sekarang sudah terkikis dengan berjalannya zaman, sedangkan remoh masih populer sampai saat ini. Bahkan remoh menjadi barometer bagi sebagian masyarakat di desa Jaddih. Dengan semakin banyaknya teman yang hadir maka semakin banyak pula kaum blateran yang hadir juga. Dengan demikian keberadaan carok dan remoh sosok blater jadi eksis keberadaannya melalui hal tersebut, eksistensinya selalu beririsan dengan relasi dan kuasa serta kepentingan antar aktor di dalam struktur sosial masyarakat (Foucault; 2002). 
Dari sudut pandang sosial, blater dapat muncul dari strata dan kelompok sosial sosial manapun di dalam Masyarakat Madura. Apakah itu dalam lingkungan dengan latar belakang sosial keagamaan yang ketata (baca: santri), atau lingkungan sosial blater. Tak jarang ditemukan pula, seorang yang sebelumnya pernah menjadi santri di pondok pesantren dalam perjalanan hidupnya berubah menjadi blater. Blater yang memiliki latar belakang santri, umumnya pandai mengaji dan membaca kitab kuning. Bagi masyarakat Madura sendiri bukanlah sesuatu yang aneh bila seorang blater pandai mengaji dan membaca kitab kuning karena dalam tradisi masyarakat Madura, pendidikan agama diajarkan secara kuat melalui langgar (mosolla), surau, masjid dan lembaga pesantren yang bertebaran di hampir setiap setiap kampung desa. Konteks inil pula yang membuat blater dengan latar belakang santri memiliki jaringan kultural dan tradisi menghormati sosok kiyai.[2] Jadi, eksisnya komunitas blater tidak terlepas juga dengan seberapa eksis terhadap carok dan remoh.
Carok,,, satu kata ini sudah tidak tabu lagi pada seluruh masyarakat Madura, terutama masyarakat desa Jaddih. Mereka menganggap carok adalah sesuatu yang pengidentikannya dengan pembunuhan sadis, pertarungan senjata, duel hidup dan mati atas nama kehormatan, pembunuhan dendam 7 turunan atau bisa jadi pembantaian masa. Carok juga selalu sejajar dengan budaya suku Madura, sebuah suku yang konon berwatak keras, temperamental dan arogan (meski tidak semua demikian). Dalam banyak kasus, setiap pembunuhan yang dilakukan oleh suku Madura, maka kata Carok akan selalu muncul. Yang paling mengerikan lagi, carok selalu berdampingan dengan nama sebuah senjata yang disebut Are’ (Clurit). Dan yang paling dramatis justru setiap kejahatan, aksi perampokan selalu identik dengan sanjata yg satu ini.
            Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilas).[3] Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok merupakan satu pembauran  dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.
            Pertengkaran tersebut biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering terjadi antar penduduk desa. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan, perselingkuhan, perebutan tanah, bisa juga dendam turun temurun selama bertahun-tahun. Istilahnya, “daripada putih mata lebih baik putih tulang”. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.[4]
Dalam rangka mereduksi carok maka kaum blateran berkumpul bersama dalam tujuan untuk bermusyawarah, dengan adanya budaya ini yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.[5]
Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing sesepuh blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.
Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang sesepuh yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.
Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.
Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.

1.2. Rumusan Masalah
1.      bagaimana peran blater terhadap carok dan remoh di desa jaddih ?
2.      Seperti apa eksistensinya blater terhadap carok dan remoh di desa jaddih ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan metodologi yang dilakukan oleh kelompok kami yaitu ada dua tujuan, yang pertama kelompok dan yang kedua khalayak ramaiu :
1)      Untuk kelompok sendiri
ü  Mengetahui yang sesusungguhnya arti dari blater, carok dan remoh itu sendiri.
ü  Mengetahui sejauhmana peran yang di lakukan blater terhadap carok dan remoh yang ada di desa jaddih.
ü  Dalam kasus ini peneliti berharap mengerti akan budaya madura yang asli dan bukan budaya yang asli.
ü  Memenuhi syarat ujian akhir smester enam.
2)      Untuk Khalayak Ramai ( Umum)
ü  Menginformasikan terhadap khalayak ramai agar supaya dengan penelitian yang kelompok kami lakukan bisa bermanfaat, setidaknya menambah refrensi terhadap yang ingin melakukan penelitian selanjutnya dalam bidang ini.
ü  Bemberikan pengetahuan terhadap masyarakat madura, karna menurut peneliti masyarakat madura itu terutama desa Jaddih sudah banyak yang tidak mengerti akan arti sebenarnya blater, carok dan remoh. Dengan ini kelompok kami berharap bisa mengembalikan jati diri masyarakat madura itu sendiri.
1.4. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan pendekatan kualitatif karna mengacu pada eksistensi blater terhadap carok dan remoh yang terjadi di desa Jaddih Kec. Socah Kab. Bangkalan.  Sehingga data yang peneliti kumpulkan ada dua macam. Yang pertama data primer (wawancara) dengan sesepuh masyarakat jaddih, sedangkan data yang kedua adalah data sekunder ( buku dan artikel) yang kemudian oleh peneliti di analisis keterkaitannya.



BAB II
PEMBAHASAN
Boleh jadi, ketika mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang akan terbayang alam yang tandus, perilaku yang kasar dan arogan bahkan menakutkan. Citra negatif yang paling kentara adalah mengenai carok dan clurit. Citra negatif ini kemudian juga melahirkan sikap pada sebagian orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran. Keadaan ini harus diakhiri.
Untuk itu, dibutuhkan suatu penulusaran lebih lanjut demi terbukanya wawasan masyarakat mengenai nilai-nilai budaya Madura yang selama ini disalah persepsikan. Upaya tersebut dapat dimulai dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Inventarisasi yang cermat terhadap nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur perlu dilakukan. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan melalui tinjauan sejarah serta dalam ungkapan-ungkapan Madura yang banyak memuat bhabhurughan becce’. (nasehat-nasehat baik).
Dalam tulisan kali ini kami akan memabagi pembahasan ke dalam 2 kelompok. Pertama, Peran Blater Terhadap Carok dan Remoh di desa Jaddih, Kedua eksistensinya blater terhadap carok dan remoh di desa jaddih.
2.1. Peran Blater Terhadap Carok di desa Jaddih Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, Madura.
Keblateran dalam banyak hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat di masyarakat pedesaan. Tak heran bila konstruksi tentang keblateran sangat terkait  pula dengan konstruksi carok dan remoh di dalam masyarakat. Blater adalah sosok orang yang kuat di Madura, baik secara fisik maupun materil.
Memang istilah blater hanya popluer di Madura bagian barat (Bangkalan dan Sampang). Sedangkan di Madura bagian timur (Pamekasan dan Sumenep) lebih populer dengan sebutan bajingan. Dari sekian banyak elite jagoan yang saya wawancarai, kesimpulan yang dapat dipetik, ternyata ada tingkatan dan kelas tersendiri yang membedakan pengertian bajingan dengan blater. Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan memiliki perangai yang kasar dan keras. Sedangkan blater sekalipun dekat dengan kultur kekerasan dan dunia hitam, namun perangai yang dibangun lebih lembut, halus dan memiliki keadaban. Di kalangan mereka sendiri dalam mempersepsikan diri, blater adalah bajingan yang sudah naik kelas atau naik tingkat sosialnya.[6]
Dalam kondisi yang seperti ini makanya seorang yang di sebut blater sering menggunakan kebelaterannya terhadap dunia carok dan remoh, dalam perannya blater terhadap carok sangat berpengaruh besar, karna seorang blater kebanyakan mempunyai sifat keberaniannya, istilah yang sering di gunakan adalah “daripada putih mata lebih baik putih tulang” dengan katalain daripada harus menanggung malu lebih baik mati. Sehingga keberanian itulah yang sering menjadi faktor terjadinya peristiwa carok.
Adapun penyebab orang blater melakukan carok tentunya ada beberapa faktor yang melatar belakangi di antaranya sebagai berikut;
o   Persetujuan sosial melalui ungkapan – ungakpan. Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya : Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang mati daripada berputih mata menanggung malu).
o   Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga kampong meji.
o   Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri. Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan. Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini, juga terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau sebaliknya. (Wiyata, 2002)
o   Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam.
o   Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang (memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan kekerasan di Madura. Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.[7]
2.1.1. Clurit Sebagai Alat Carok Oleh kaum Blater
Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Celurit yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya disimpan oleh keluarganya sebagai benda kebanggaan keluarga. Lumuran darah yang menempel pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti eksistensi dan kapasitas leluhur mereka sebagai orang jago (blater) ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan secara turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur mereka. Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori melainkan lebih sebagai media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu karena menang carok dan kebanggan sebagai keturunan blater.
Keberadaan celurit bagi kaum blater sangat penting artinya baik sebagai sekep maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara remo.
Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki madura khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan dari kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.
Begitu berharganya keberadaan senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan orang Madura ”Are’ kancana shalawat” (celurit merupakan teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu membaca sholawat pada setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada agama/Tuhan saja, sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai sarana melindungi dan mempertahankan diri.
Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.
Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.
2.2. Eksistensi Blater Terhadap Remoh di desa Jaddih Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, Madura.
Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Bangkalan salah satunya di desa Jaddih. Di desa Jaddih rata-rata masyarakatnya tidak memiliki pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai. Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris setiap minggu ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Jaddih jauh lebih desa ketimbang daerah lainnya.
Dari kejadian tersebut akhirnya kaum blateran berinisiatif untuk melakukan diskusi dengan sesama kaum blater dalam angka mencari solusi yang meredamkan carok.
Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.
Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.
Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.
Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.
Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.
Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas lurah Madura.
Bila kyai dekat dengan tradisi tahlilan dan pengajian, maka blater dekat dengan tradisi sandur, remoh dan kerapan sapi. Di Madura ada tradisi remo sebagai ajang berkumpulnya para jagoan dari seluruh wilayah terutama di desa Jaddih di mana peneliti melakukan observasi. Sebagai sebuah tradisi, remoh sudah menjadi institusi sosial dan budaya yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi bagi pesertanya. Tidak hanya manfaat memperoleh keuntungan ekonomi, tapi remoh juga menjadi ajang yang sangat prestisius bagi blater. Secara kultural, remoh sebagai media “persaingan” untuk memperoleh pengakuan sosial bagi blater dalam masyarakat.
Tradisi remoh yang muncul dan mengakar di pulau Madura, ternyata juga berkembang dalam masyarakat urban. Tradisi tersebut masih berlangsung sekalipun berada dalam masyarakat urban yang memiliki tingkat heterogenitas baik suku, bahasa maupun agama. Mereka berkumpul dalam sebuah paguyuban atau perkumpulan, berinteraksi dan saling mengenal sesama orang Madura di perantauan dengan intensitas yang cukup stabil.
Penulisan proposal penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan yang nyata sesuai data lapangan tentang tradisi remoh mulai persiapan, tata cara pelaksanaan dan fungsi sosialnya. Di samping itu, untuk meneliti solidaritas sosial dalam masyarakat Madura urban dan yang mempengaruhi ikatan solidaritas mereka melalui tradisi remoh.  Dengan demikian, diharapkan dapat bermanfaat secara akademis dan praktis. Secara teoritis dan akademis, proposal penelitian ini akan menjadi sumbangan sederhana untuk mendapatkan informasi tentang tradisi remoh dan gambaran masyarakat Madura secara objektif. Adapun secara praktis, untuk menambah khazanah kepustakaan, khususnya mengenai tradisi remoh di Madura dan dalam masyarakat Madura urban serta ikatan solidaritas sosial mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yaitu studi kasus. Hasil yang diperoleh dari pengambilan data terhadap delapan informan anggota remoh menunjukkan bahwa sebelumnya terdapat undangan remoh yang disebarkan kepada anggota remoh. Remoh dimulai jam 10.00 atau 12.00 s.d. 24.00. Akan tetapi di Madura remoh selalu diadakan pada malam hari mulai pukul 22.00 dan berakhir sekitar pukul 05.00 pagi. Tiap anggota remoh menyerahkan sejumlah uang dalam pelaksanaan remoh (bubuwan). Semakin besar menyerahkan bubuwan semakin besar pula jumlah uang yang diperoleh saat anggota remoh menjadi tuan rumah remoh. Remoh dilaksanakan secara bergiliran sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan pada masing-masing paguyuban. Tradisi remoh memiliki tiga manfaat, yaitu ekonomi, sosial dan spiritual keagamaan. Aspek sosialnya, remo dengan wadah paguyuban menjadi tempat berkumpul dan mempererat ikatan emosional mereka. Sebagai sebuah tradisi, remoh tidak bisa dilepaskan dengan dunia keseharian orang Madura itu sendiri. Tradisi seperti remoh dapat dikatakan menjadi identitas yang tak terpisahkan bagi orang Madura dimana pun mereka melangkah dan menetap. Sehingga tradisi ini ikut memperkokoh ikatan sosial kemaduraan dan mempererat tali emosional etnisitas mereka. Dalam perspektif Durkheim terkenal dengan solidaritas mekanik.
Akhirnya bisa di ditarik benang merah dari pembahasan diatas bahwasanya kaum blateran sangat berpengaruh terhadap adanya carok dan remoh, karna mereka sudah di anggap sesepuh oleh kalangan masyarakat biasa. Dari anggapan inilah kaum blateran seperti berlomba dalm mencari status sosial dalam ranah carok dan remoh.


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Memang istilah blater hanya popluer di Madura bagian barat (Bangkalan dan Sampang) terutama pada masyarakat Jaddih. Sedangkan di Madura bagian timur (Pamekasan dan Sumenep) lebih populer dengan sebutan bajingan. Dari sekian banyak elite jagoan yang saya wawancarai, kesimpulan yang dapat dipetik, ternyata ada tingkatan dan kelas tersendiri yang membedakan pengertian bajingan dengan blater. Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan memiliki perangai yang kasar dan keras. Sedangkan blater sekalipun dekat dengan kultur kekerasan dan dunia hitam, namun perangai yang dibangun lebih lembut, halus dan memiliki keadaban. Di kalangan mereka sendiri dalam mempersepsikan diri, blater adalah bajingan yang sudah naik kelas atau naik tingkat sosialnya.
Bukan dalam bentuk keberaniannya saja kaum blateran itu keberadaannya di akui, namun dalam hal carok dan remoh mereka bahkan lebih diakui lagi, dengan keberanian dan kewibawaannya kaum blateran di anggap sesepuh yang bisa di jadikan panutan bagi masyarakat sekitar, khususnya pada masyarakat Jaddih.
2.      Saran
Demikian proposal ini oleh peneliti di sajikan. Dari pengamatan peneliti sebenarnya masyarakat madura sudah salah mempersepsikan lagi yang namanya blater, carok dan remoh. Dari kesalah persepsian ini peneliti ingin menyampaikan kepada masyarakat Madura khususnya pada Masyarakat Desa Jaddih tentang arti yang sesungguhnya mengenai tiga hal tersebut.
Blater, carok dan remoh sesunggunya jadi tradisi dan budaya masyarakat Madura. Sungguh ironis ketika masyarakatnya sendiri tidak mengerti akan makna dari ketiga hal tersebut. Maka perlu di lestarikan dan di jaga kemurnian Blater, Carok dan Remoh.





           




[1] Kewibawaan yang di maksudkan adalah ekatodusih (disegani). Hasil wawancara terhadap sesepuh masyarakat setempat di desa jaddih.
[2] Rozaki Abdur. Social origin dan politik kuasa blater di madura. Yogyakarta 2009.
[3] Amin Mohammad, Carok Bukan Asli Budaya Madura, Artikel Internet, 25-10,89.
[4] Wikipedia. Carok satu lawan satu.
[5] Amin Mohammad, Op. Cit.
[6] Rozaki, Tesis UGM, 2009.
[7] Rozaki Abdur. Social origin dan politik kuasa blater di madura. Yogyakarta 2009.



PROPOSAL PELATIHAN

            PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA       ” PELATIHAN PEMBUATAN BLOG PENDIDIKAN BAGI GURU-GURU DI KOTA BANGKALA...