BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kedudukan
media massa dalam politik menempati posisi yang sangat penting. Keberadaan
media massa bahkan dapat menjadi ukuran atau barometer sistem politik. Sebuah
sistem politik yang mengekang media massa akan bisa dipastikan sebagai sistem
politik yang mengekang media secara keseluruhan. Dengan kata lain sistem
politik yang mengekang media adalah sistem politik otoriter. Sedangkan sistem
politik yang memberi kebebasan kepada media adalah sistem politik yang
demokratis.
Dengan demikian hubungan media dan politik ibarat dua
sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sistem politik yang demokratis akan
menjamin kebebasan media, sedangkan sistem politik yang tirani akan mengekang
media.
Besarnya pengaruh politik terhadap
kehidupan media disebabkan karena hakikat media massa adalah alat komunikasi
dengan massa. Sedangkan massa memiliki peran yang penting dalam politik modern.
Partai politik atau politisi memerlukan massa untuk meraih kemenangan dalam
pemilihan umum.
Dalam hubungannya dengan politik, media
pada dasarnya adalah sub-sistem dari sistem politik. Media akan tunduk kepada
sistem politik. Di banyak kasus, media mampu memengaruhi politik, namun hal itu
hanya terjadi bila ada kebebasan media massa. Dalam sistem politik yang terbuka
dan demokratis, media memiliki peran yang sangat kuat. Namun dalam sistem
politik yang mengekang, pengaruh pers tidak dapat terjadi secara signifikan dan
instant.
Begitu besarnya pengaruh media dalam
masyarakat yang demokratis sehingga media ditempatkan sebagai pilar keempat
negara (the fourth estate). Ada yang
berpendapat bahwa istilah the fourth estate adalah sebagai
tambahan teori trias politika-nya Montesquieu yaitu eksekutif (pemerintah),
legislatif (parlemen, pembuat undang-undang) dan yudikatif (badan peradilan/
penegak hukum).
Begitu banyak perdebatan mengenai hubungan
pers dan politik akan membawa kita kepada perdebatan teori-teori pers yang
telah dirumuskan sejak usainya perang dunia II. Teori pers yang dikenal
dirumuskan berdasarkan praktik sistem sosial politik dan ideologi di dunia pada
masa perang dingin. Adapun teori pers yang di maksudkan yaitu ada empat macam
teori yang pada mulanya teori pers disusun oleh Siebert dan kawan-kawan (1956)
yang terkenal dengan bukunya berjudul four
theories of the pers yang telah di
terjemahkan dalam bahasa indonesia ”Empat Teori Pers”. Menurut Siebert teori
pers di dunia terdapat empat yaitu: teori otoriter, teori liberal, teori tanggung
jawab sosial, dan teori media soviet.
Menanggapi empat teori pers, ahli
komunikasi massa Denis McQuail menambahkan dua teori pers yaitu teori pers
pembangunan dan teori pers demokratis-partisipan.[1]
Sementara Anwar arifin dari Universitas Hasanuddin merumuskan sistem pers
Pancasila.[2]
Dalam melihat sistem pers atau sistem
media yang telah diuraikan di atas, tampaknya lebih relevan melihat teori pers
itu dari kacamata serba masyarakat (society
centered) bahwa pers bersikap melayani kepentingan sistem politik dan
tunduk kepada sistem politik. Teori pers yang digagas para ahli komunikasi di
atas adalah sub atau bagian dari sistem politik yang ada. Tatkala sistem
politik otoriter berlaku maka sistem pers juga otoriter, dan ketika arus
politik menggulung sistem otoriter maka sistem pers otoriter juga tergeser.
Media massa adalah salah satu hal yang saat ini memilki
pengaruh yang besar dan sangat penting di era informasi ini. Media massa
memiliki kemappuan yang maha dahsyat untuk mempengaruhi khalayak. Banyak hal
bisa terjadi karena media massa. Media massa dewasa ini telah mengalami
kemajuan yang sangat cepat, dibuktikan dengan munculnya new media yang
merupakan hasil dari perkembangan teknologi dan komunikasi. Bila tidak ada
hukum yang mengatur media massa maka kebebasan berpendapat dan berekspresi akan
menjadi kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Sesuai dengan fungsi hukum,
yaitu (a) menyelesaikan masalah (b) mengendalikan masyarakat (c) menggerakan
perubahan masyarakat.[3]
Semua kegiatan yang kita lakukan ada hukum yang jelas yang mengaturnya. Dan
hukum yang mengatur media massa memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan
atas pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, serta memberikan
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dalam
hal ini peneliti ingin lebih komfrehensif dengan teori otoriter yang dikaitkan
dengan keadaan di masyarakat bangkalan, yang menurut peneliti bangkalan masih
menerapkan sistem politik yang otoriter dengan demikian media yang ada di
bangkalan menjadi oteriter. Menurut teori ini, pers berkembang pada zaman
pra-demokrasi di mana kekuasaan sangat besar di tangan negara. Pers diabdikan
untuk melayani kepentingan negara, kerajaan, dan kaum bangsawan, sensor
preventif dan kewenangan negara untuk mencabut izin bila pers dianggap tidak
sejalan dengan kebijakan negara. Teori ini memang banyak dijalankan oleh
negara-negara Monarchi absolut di Eropa pada abad ke-17, namun bentuknya tidak
mustahil muncul kembali saat ini, khususnya di daerah Kbaupaten Bangkalan.
1.2 Rumusan
Masalah
ü Seberapa
besarkah pengaruh sistem politik dan hukum terhadap media massa di kota
bangkalan ?
ü Apa
dampak yang telah di terapkan oleh sistem politik dan hukum terhadap media
massa di kota bangkalan?
1.3 Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini begitu besar bagi peneliti sendiri agar supaya mengerti
arus politik dan hukum yang imbasnya terhadap media massa, apakah media menjadi
tunduk terhadap pemerintah atau malah sebaliknya. Dengan ini peneliti berharap
kajian ini bermanfaat terhadap khalayak ramai terutama terhadap masyarakat
bangkalan itu sendiri yang menurut peneliti masih belum banyak yang memahami
sehingga masyarakat mengikuti arusnya politik yang telah di sebarluaskan media
dengan tanpa menfilternya.
1.4 Manfaat
Penelitian
Dalam
penelitian yang dilakukan ini, peneliti berharap dapat memberikan manfaat bagi
beberapa pihak, antara lain:
ü Menginformasikan
kepada masyarakat atas berjalannya sistem media massa yang telah di lingkupi
atas peraktek sistem politik.
ü Bagi
peneliti sendiri lebih mengerti akan sistem yang telah terjadi di kota
bangkalan.
1.4.1
Manfaat Teoritis
Di
pandang dari sudut teori, pada dasarnya teori otoriter sudah gulung tikar sejak
abad ke-17, namun bentuknya tidak mustahil muncul kembali saat ini khususnya di
daerah kota bangkalan sendiri. Di kota bangkalan sendiri bisa di katakan teori
otoriter masih berlaku meskipun sistem indonesia menggunakan sistem demokrasi.
1.4.2
Manfaat Praktis
Secara
praktis diharapkan dapat memberikan informasi dan mengembangkan pemahaman
masyarakat terhadap dunia Media, pers, demokratisasi, responsivitas dan sistem
politik serta hukum yang ada saat ini.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Landasan
Teori
Pengaruh
Sistem politik dan hukum terhadap media itu sangat earat kaitannya, seperti
yang telah di uraikan di atas bahwa hubungan media dan politik ibarat dua sisi
mata uang yang tidak terpisahkan. Sistem politik yang demokratis akan menjamin
kebebasan media, sedangkan sistem politik yang tirani akan mengekang media.
Besarnya pengaruh politik terhadap
kehidupan media disebabkan karena hakikat media massa adalah alat komunikasi
dengan massa. Sedangkan massa memiliki peran yang penting dalam politik modern.
Partai politik atau politisi memerlukan massa untuk meraih kemenangan dalam
pemilihan umum.
Dalam hubungannya dengan politik, media
pada dasarnya adalah sub-sistem dari sistem politik. Media akan tunduk kepada
sistem politik. Di banyak kasus, media mampu memengaruhi politik, namun hal itu
hanya terjadi bila ada kebebasan media massa. Dalam sistem politik yang terbuka
dan demokratis, media memiliki peran yang sangat kuat. Namun dalam sistem
politik yang mengekang, pengaruh pers tidak dapat terjadi secara signifikan dan
instant. Dalam hal seperti ini kita perlu mengetahui devinisi dari
sample-sample di atas, seperti politik, hukum dan media massa. Di bawah ini
adalah uraiannya:
21.1.
Politik
Istilah Ilmu Politik (science politique) pertama kali di gunakan oleh Jean Bodin di Eropa
pada tahun 1576, kemudian Thoma Fitzherbert dan Jeremy Bentham pada tahun 1606.
Akan tetapi, istilah politik yang dimaksudkan adalah ilmu negara.[4] Menurut Miriam Budihardjo, politik mempunyai
bermacam-macam definisi sehingga memperlihatkan demikian luas pengertian dan
definisi politik. Lebih jauh, politik adalah suatu kegiatan dalam suatu sistem
politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dan melaksanakan
tujuan-tujuan tersebut dalam sistem itu.
Dalam
pandangan Ramlan Surbbakti, berdasarkan pada perkembangannya dari masa klasik
hingga modern, sekurang-kurangnya terdapat lima pandangan tentang politik. Pertama, politik adalah usaha yang di
tempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik adalah segala hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang di arahkan untuk
mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai
kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam
rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang di anggap penting.[5]
Dari penjabaran di atas,
2.1.2.
Hukum
Menurut
J. C. T. Simorangkir SH, hukum dalah peraturan yang bersifat memaksa yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh
badan-badan resi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
mengakibatkan tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.[6]
Prof. Mr. E. M. Meyers, hukum adalah aturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang
menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam tugasnya.[7]
Media
Massa (mass media) terdiri dari dua kata yaitu “media” dan “massa”. Penjelasan
berikut ini lebih merupakan pemahaman arti kata dalam masyarakat, bukan sisi
etimologis, karna pengertian media dari perkembangan teknologi, sosial politik
dan persepsi masyarakat terhadap media.[8]
2.1.3.
Media
Kata
media dekat dengan pengertian “medium”, “moderat” yang berarti tengah, sedang,
penengah atau penghubung. Kalau kita mendengar kata mediasi berarti suatu usaha
untuk menengahi atau menyelesaikan masalah dengan cara menjadi penengah atau
menghubungkan suatu pihak dengan pihak yang lain.
Pengertian
secara sosial-politis, “media” kemudian bergeser menjadi suatu “tempat”,
“wahana”, “forum” atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga
penghubung”, lembaga yang berada di antara rakyat dan pemerintah, dan
sekelompok orang di tempat lain.
Kata
kedua yang melekat dalam kata media adalah “massa”. Kata massa sering kali
diartikan dalam dua sisi yang berbeda. Bagi kalangan yang menghendaki suatu
kemapanan (establishment), atau yang tidak menghendaki suatu perubahan, kata
massa adalah suatu yang berkonotasi negatif. Bahkan dalam masyarakat
sehari-hari kata massa adalah suatu yang menakutkan. Lihatlah kalimat yang
sering kita dengar: “Massa sudah datang”. “Massa tidak dapat dikendalikan”,
“Jangan sampai menyulut kemarahan massa”. Tetapi kalangan sosialis atau mereka
yang berkepentingan terhadap massa seperti partai politik melihat massa sebagai
suatu yang positif dan bahkan memberikan penghargaan tinggi. Ungkapan
sehari-hari yang kita dengar “demi rakyat”, “kepentingan publik” adalah sinonim
dari kata “massa”.
Kata
“massa” dalam media massa, sebenarnya tidak berkonotasi negatif ataupun
positif. Massa dalam pengertian disini adalah suatu yang tidak pribadi, sesuatu
yang tidak personal, melainkan sesuatu yang berhubungan “orang banyak”.
Dengan
demikian media massa[9]
adalah suatu lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga
yang netral bagi semua kalangan atau masyarakat banyak. Sering kali media massa
juga diartiakan sebagai penengah antara massa dan elit. Forum yang menjadi
perantara antara masyarakat dan pemerintah, dan sebagainya. istilah media massa
akan dipendekkan menjadi media.
2.2 Kerangka
Konsep
Variabel
berasal dari kata bahasa Inggris Variable
yang berarti factor tak tetap atau berubah-ubah. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia Kontemporer telah terbiasa menggunakan kata variabel adalah fenomena
yang bervariasi dalam bentuk, kualitas, kuantitas, mutu standart dan
sebagainya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel adalah
sebuah fenomena yang berubah-ubah.
2.2.1
Variabel Independent
Variable
ini adalah sejumlah gejala atau faktor yang mempengaruhi atau munculnya gejala
atau faktor serta unsur lain, yang pada gilirannya gejala atau faktor atau
unsur yang ke dua yang disebut dengan variabel terikat. Variabel bebas ini
biasanya disebut dengan variabel X.
Dalam
penelitian ini variabel bebasnya (X) adalah Sistem Politik dan Hukum.
2.2.2 Variabel Dependent
Variabel
dependent atau terikat adalah sejumlah gejala atau factor atau unsur yang ada atau muncul dan dipengaruhi atau
ditentukan oleh adanya variabel bebas. Variabel terikat ini biasanya disebut
dengan variabel Y. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah Media.
2.3 Penelitian
Terdahulu
Nama
Peneliti
|
Judul
Penelitian
|
Variabel
|
Hasil
|
PIPIT LESTARI
(2010)
|
HUKUM MEDIA MASSA DAN KONVERGENSI
MEDIA DI INDONESIA
|
X= Hukum Media
Y= Konvergensi Media di Indonesia
|
Dari hasil yang di paparkan bahwasanya pengaruh
hukum media sangat mendomenasi percepatan media itu sendiri, baik dalam ranah
nasional maupun internasional. Peningkatan tenologi informasi dan komunikasi,
khususnya melalui kegiatan telekomunikasi secara terus menerus mengubah
perekonomian local, nasional, regional, dan internasional menjadi jaringan
ekonomi berjaringan yang merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat informasi
(Information society). Sehingga bisa dikatakan Media sebagai alat
mengkomunikasikan kepada Massa.
|
Sumber
: Internet, dengan judul Hukum Media Massa Dan Konvergensi Media Di Indonesia,
oleh Pipit Lestari.
BAB III
METODE
PENELITIAN
Salah satu kerangka dasar dalam Penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif dengan mengambil judul ”pengaruh antara Sistem Politik beserta Hukum terhadap Media Massa”. Pengaruh paling sederhana dari ketiga variabel tersebut adalah pengaruh langsung di mana sistem politik dapat mempengaruhi hukum kemudian hukum mempengaruhi Media Massa. Dalam pengaruh ketiga komponen tersebut
saling mempengaruhi termasuk adanya faktor-faktor lain seperti Sistem Politik, Undang-undang, yang
semua itu akan berdampak terhadap sistem Media yang berada di kota bangkalan
ini.
Seperti yang telah
di uraikan tentang berbagai Teori/ sistem media yang pernah ada di dunia ini.
Di lihat dari serba pandangan masyarakat (sosiety
centered) di sini kita bisa melihat sistem politik secara langsung
mempengaruhi media. Pandangan serba masyarakat melihat media massa merupakan
hasil dari proses perubahan sejarah. Keberadaan media sangat bergantung kepada
kondisi sosial politik dan budaya masyarakatnya.[10]
Pengaruh sistem
politik kepada media, selain secara langsung sebagaimana terlihat dalam proses
pengaruh politik kepada sistem media, juga bisa dilakukan melalui lembaga lain
yaitu hukum. Politik bisa memengaruhi sistem media melalui hukum. Untuk itu
terlebih dahulu perlu di jelaskan mengenai hubungan antara politik dan hukum.
Secara umum bisa di
katakan bahwa politik adalah kegiatan manusia dalam suatu
sistem pilitik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat bukan merupakan
tujuan pribadi.[11]
Politik berfungsi sebagai alat untuk mencapai
tujuan sosial. Masyarakat yang menghendaki tujuan tertentu akan menggunakan
upaya-upaya politik. Upaya-upaya politik ini bilamana mencapai suatu
kesepakatan antar kesatuan plitik harus memiliki legitimasi untuk dapat di
realisasikan. Kesepakatan-kesepakatan yang telah disahkan itulah yang di
namakan hukum. Hukum perundang-undangan, merupakan bagian penting dari keluaran
(out put) yang di hasilkan oleh
sistem politik.[12]
Gambar
1.
HUBUNGAN SISTEM
POLITIK, HUKUM, DAN MEDIA
Sistem
Politik
Sistem
(tata) Hukum
Sistem Media
Sumber
: Hari Wiryawan, 2007.
Keterangan : Sistem Media dipengaruhi oleh sistem
politik baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui sistem hukum.
Bila
sebuah sistem politik menghendaki adanya kehidupan media yang dapat
dikendalikan kekuasaan, maka akan lahir hukum media yang mengendalikan media
(media otoriter) yang bisa diartikan juga media pembangunan. Bila sistem
politik menghendaki sebuah sistem yang bebas, maka akan lahir sebuah hukum
media yang bebas pula.
Meskipun
hubungan-hubungan tersebut tidak sesederhana di atas, namun pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa hukum tekah digunkan oleh sistem politik sesuai dengan
kehendaknya.
Pada
masyarakat yang organisasinya didasarkan atas kekuasaan, maka masyarakat itu
tidak terlalu membutuhkan hukum. Namun pada masyarakat yang di atur oleh hukum,
maka hukum tidak hanya berfungsi membatasi, melainkan juga mengawasi dan
menyalurkan kekuasaan.[13]
Dengan
kata lain, hukum menampilkan dua muka yaitu sebagai alat pengawas sosial (social control) dan sebagai alt untuk
perubahan atau rekayasa sosial (social
engeenering).
Gambaran
sebagaimana disebut di atas bahwa hukum dapat digunakan oleh kekuatan politik
untuk mengatur media adalah fungsi hukum sebagai social control. Berikut ini akan di gambarkan bagaimana hukum
sebagai social engeenering mengatur
agar hubungan politik dan media bia berlangsung secara lebih sehat.
Hukum
Mengatur Politik Dan Media
Dalam sistem politik yang totaliter,
peranan hukum mengecil apabila dibandingkan dengan kekuasaan. Akan tetapi dalam
sistem politik yang demokratis peranan hukum makin membesar.[14]
Negara indonesia yang sejak tahun
1998 memasuki era reformasi, pada hakekatnya juga memasuki sistem demokrasi welfer state (negara kesejahteraan).
Meskipun Indonesia belum sepenuhnya memenuhi kriteria sebuah negara demokrasi
yang berdasarkan rule of law, namun
beberapa elemen tersebut sudah memenuhi persyaratan. Sebuah negara yang
berlandasan pada asas rule of law mensyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perlindungan
konstitusional, dalam artian bahwa konstitusi selain menjamin hak individu harus menentukan pula
cara untuk memperoleh perlindungan hak-hak yang di jamin.
2. Badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3. Pemilihan
umum yang bebas
4. Kebebasan
menyatakan pendapat
5. Kebebasan
untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan
kewarganegaraan (civic education)[15]
Dalam
upaya memperoleh kekuasaan seseoranga atau sebuah partai politik perlu
melakukan proses-proses politik. Pada masyarakat demokratis upaya memperoleh
kekuasaan itu di atur melalui hukum. Dalam upaya memperoleh kekuasaan itulah
hukum mengatur tentang mekanisme politik. Mekanisme itu mengatur bahwa
kekuasaan dapat di peroleh dengan cara-cara damai yang menggunakan legitimasi
dukungan dari masyarakat yaitu melalui lembaga pemilihan umum. Kekuasaan tidak
boleh di pertahankan dengan cara kekeraan dan melalui dukungan senjata.
Karena
faktor dukungan massa itu sangat pengting, maka setiap kekuatan politik
berlomba-lomba memperoleh simpati dari massa, bukan berlomba-lomba
menakut-nakuti massa.
Di
sinilah terjadi interaksi antara kepentingan politik yang mencari massa dengan
kepentingan media yang mempunyai akses kepada massa. Politik ingin meraih massa
sebagai legitimasi kekuasaan, sedangkan media ingin meraih massa sebagai
legitimasi profesionalisme.
Pemahaman
profesionalisme dilihat dari kacamata media memiliki dua arti. Pertama,
profesionalisme materi atau isi dari media massa. Kedua, profesionalisme dalam
arti kepentingan ekonomi.
Dalam
media massa yang dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis, media massa adalah sebuah
perusahaan yang pada umumnya adalah perusahaan swasta. Dalam perusahaan media
tersebut, kaum profesional, khususnya wartawan, menghendaki profesionalisme
untuk dapat mengakses sumber-sumber informasi penting yang dimiliki kaum
politisi secara langsung dan menyiarkan secara bebas kepada massa.
Sedangkan
bagi perusahaan media, aspek profesionalisme adalah untuk pengembangan bisnis
yang merupakan pertimbangan penting. Dalam hal ini kedekatan dengan politisi
diharapkan dapat memberikan kelonggaran untuk pengembangan bisnis media.
Dalam
interaksi inilah hukum mengatur penggunaan media massa untuk kepentingan
politik. Karena politik identik dengan kekuasaan, maka hukum mengatur hubungan
antara kekuasaan dan media massa.
Pakar
hukum Roscue Pond mengatakan bahwa hukum berfungsi untuk memenuhi tujuan-tujuan
sosial. Hukum merupakan refleksi dari masyarakat dan juga memengaruhi
masyarakat. Dengan demikian hukum merupakan produk sosial. Tetapi sekaligus
merupakan kekuatan sosial, sebagai produk sosial.[16]
Hukum
bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, melainkan berada pada kedudukan
yang kait mengait dengan sektor kehidupan yang lain. Karena itu hukum harus
melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan masyarakat.[17]
Disini hukum terlihat memiliki kelenturan dengan lingkungannya, termasuk dengan
lingkungan politik.
Hukum
media adalah salah satu sarana yang bertujuan untuk mengatur media massa. Namun
hukum media bukan satu-satunya cara mengatur media massa. Komitmen para politisi,
kalangan bisnis, dan masyarakat akan menentukan bagaimana suatu pengaturan
media massa berlangsung.
Secara teori, peraturan hukum itu akan selalu terlambat
mengikuti perkembangan zaman karena sifatnya yang kaku (Rigid). Namun, pada
dasarnya semua peraturan itu akan menjadi efektif jika masyarakat mau
menerapkannya , termasuk media pers. kekuatan politik di Indonesia sudah tidak
membuat media berpihak pada media independen. Tidak bisa dipungkiri kekuatan
partai politik mempengarugi berita yang ditampilkan media. Contoh nya, metro TV
yang dimiliki Surya Paloh dari Nasional Demokrat. Meskipun tidak melanggar
hukum, tapi sesungguhnya norma etika dalam masyarakat sudah dicederai, karena
sekecil apapun, keberpihakan itu pasti terlihat.
Untuk kondisi Indonesia saat ini, Hukum Media apakah mungkin
bersifat Lex Specialis? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita perlu
mengetahui lex specialis itu apa. Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Asas
ini bermakna bahwa ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan
yang bersifat umum. Asas ini hanya dapat dijadikan acuan apabila derajat
perundang-undangan tersebut sama.[18]
Atau bisa diartikan hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang
bersifat umum. Jadi, menurut saya jawaban atas pertanyaan tadi mungkin
saja, karena ada UU pers, contohnya, dalam KUHP diatur mengenai pelecehan nama
baik. Seandainya media melakukan pelecehan nama baik, yang dipakai kan UU Pers
bukan KUHP.
Daftar Pustaka
Wiryawan,
Hari, Dasar-dasar Hukum Media, Jakarta,
Pustaka Pelajar, 2007.
Denis
McQuuail, Op. Cit., h. 153.
Anwar
Arifin, Komunikasi Politik dan Pers
Pancasila, Jakarta, Penerbit Media Sejahtera, 1992, h. 53.
Abdul R. Budiono, Pengantar Ilmu
Hukum, Malang: Bayumedia, 2005, hal.32-37.
Miriam
Budiardjo, Op. Cit., h. 8.
Soeryono
Sukanto dan Othe Salman, Disiplin Hukum
dan Di Siplin Sosial (Bahan bacaan awal), Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1996.
Satjipto
Raharjo, Ilmu Hukum, h. 160.
Soerjono
Soekanto & Othe Salman, Op. Cit., h. 109.
Miriam
Budiardjo, Op. Cit., h. 60.
Soerjono
Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1982 h. 69.
Satjipto Rahardjo, Op. Cit., h. 334.
[2] Anwar
Arifin, Komunikasi Politik dan Pers
Pancasila, Jakarta, Penerbit Media Sejahtera, 1992, h. 53.
[4] Hafied Cangara. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi.
Jakarta: Rajawali Pers. 2009, hal. 26.
[5] Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. 1999. hal.
1-2.
[6] C. S. T. Kansil, 1986, Pengaturan Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai pustaka, Jakarta, h: 36
[7] Ibid
[8] Denis McQuail, Op. Cit., h. 10.
[9] Michel Agnes (ed), webter’s New
Whorld Dictionary and Thesaurus, MacMillan, USA, 1996 menyebutkan bahwa “mass
media” adalah those means of
communication that reach large number of people, as newspapers, radio etc.
[10] Cara pandang lain dalam
melihat media adalah pandangan serba media (media
centered). Disini media di lihat sebagai pusat penggerak masyarakat dan
media di anggap memiliki kekuatan besar untuk menggerakkan dan mengubah masyarakat.
Lihat Denis McQuail, Op. Cit., h. 60.
[12] Soeryono Sukanto dan
Othe Salman, Disiplin Hukum dan Di Siplin
Sosial (Bahan bacaan awal), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
[13] Satjipto Raharjo, Ilmu
Hukum, h. 160.
[14] Soerjono Soekanto &
Othe Salman, Op. Cit., h. 109.
[15] Miriam Budiardjo, Op.
Cit., h. 60.
[17] Satjipto Rahardjo, Op.
Cit., h. 334.