JURNAL SKRIPSI (Analisis Industri Televisi Lokal Swasta Jawa Timur (Aplikasi Pendekatan “Structure Conduct Performance” Dalam Industri Televisi Swasta Lokal “TV9” Surabaya )

 

Analisis Industri Televisi Lokal Swasta Jawa Timur

(Aplikasi Pendekatan “Structure Conduct Performance” Dalam Industri Televisi Swasta Lokal “TV9” Surabaya )

*Badrus Sholeh 2014

Based on the findings and analysis of the data from the study titled Analysis of Local Television Industry Private East Java (Application Approach "Structure Conduct Performance" In Private Local Television Industry "TV9" Surabaya) it can be concluded that the economic structure of oligopoly behavior TV9 is no possibility of increasing profits premises the presence of advertising, and inefficient performance. Then in terms of the political economy of the media can be concluded that the media as an institution centered on the issue of market exchange where individuals as consumers have the freedom to choose the commodities that are competing based on the satisfaction of the benefits being offered. The larger the market forces play a role, the greater the freedom of consumers to make their choice.

 

Pendahuluan

Televisi telah membawa dampak yang besar bagi umat manusia. Televisi menyampaikan berbagai informasi, pesan-pesan dengan sangat cepat sampai ke khalayak pemirsa. Kelebihan televisi bersifat audio visual. Kelebihan lainnya adalah televisi dapat menyajikan siaran secara langsung (Live Broadcasting) pada waktu yang bersamaan. Pemirsa terpaksa menerima apa saja yang disajikan oleh televisi. Baik dalam bentuk berita, pendidikan, hiburan maupun iklan.

Peran media massa televisi sebagai media massa memiliki fungsi komunikasi massa yaitu fungsi mendidik (to educate), fungsi memberikan informasi (to inform), menghibur (to entertain) termasuk fungsi mempengaruhi (to persuade). (Adi,2010:1)

Pesatnya pertumbuhan dan kecendrungan masa depan industri televisi di indonesia, terutama dengan lahirnya banyak Stasiun Televisi Swasta Lokal di daerah (Surabaya), menjanjikan banyak harapan. Harapan bukan hanya pada pertumbuhan usaha di bidang televisi itu sendiri, melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah dampak positif dari hadirnya TV Lokal, seperti berkembangnya kehidupan sosial, budaya dan politik serta ekonomi daerah yang tentu akan bermuara kemajuan masyarakat daerah dan seterusnya.

Perkembangan pertelivisian nasional di Indonesia dimulai sejak pemerintah membuka TVRI yang pada waktu itu merupakan satu-satunya stasiun televisi bertaraf nasional di Indonesia. Baru kemudian pada tahun 1989 lahirlah RCTI sebagai stasiun televisi swasta nasional pertama di Indonesia dan disusul kemudian dengan SCTV, Indosiar, ANTV, dan TPI. Bahkan menjelang tahun 2000, secara serentak telah mengudara lima stasiun televisi swasta baru, yaitu Metro, Trans, TV7, Lativi, dan Global. Kemudian setelah undang-undang penyiaran disahkan oleh pemerintah pada tahun 2002, jumlah televisi baru di Indonesia diperkirakan akan terus bermunculan, khususnya didaerah. Terhitung sepuluh stasiun televisi swasta nasional dan puluhan stasiun televisi swasta lokal telah hadir ditengah masyarakat, belum lagi televisi berlangganan dan televisi komunitas (Morisan,2008:10).

Kondisi ini lah yang semakin memicu iklim komersial di industri media televisi. Hal ini mendorong media televisi bekerja lebih keras dalam membuat suatu program yang kreatif dan inovatif, sehingga memiliki daya tarik yang tinggi terhadap audiensnya. Bukan hanya dalam segi programnya saja, tapi mereka para pelaku industri  media televisi telah bergabung menjadi sebuah group yang di kenal dengan sebutan konglomerasi media, seperti yang di lakukan oleh beberapa stasiun televisi di antaranya yaitu Tpi dan Global TV serta Rcti menjadi Mnc Group, Trans Tv dan Trans 7 dibawah naungan Trans corp, dan lain sebagainya.

Industri media televisi, konglomerasi memiliki pengaruh yang cukup kuat, antara lain ditunjukkan melalui pola-pola kerjasama yang dibangun dalam struktur jaringan, sentralisasi sumber informasi dan distribusi, serta homogenisasi sistem keagenan dalam jaringan distribusi dan sirkulasi. Pengaruh konglomerasi tersebut pada akhirnya membentuk karakteristik media yang khas, menunjukkan output produk media dalam struktur pasar oligopoli.( Iwan Awaluddin Yusuf: http://bincangmedia.wordpress.com/2011/10/13/analisis-industri-pers-pendekatan-s-c-p/ Posted on 13 October 2011).

Televis menjadi alat untuk menyiarkan informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Informasi yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, pendidikan, agama dan bidang yang lainnya. Aspek pendidikan yang diinformasikan oleh media televisi, khususnya fungsi media yang kedua yaitu mendidik.

Fungsi yang kedua inilah yang sebenarnya diemban oleh stasiun televisi swasta lokal surabaya, yaitu TV9. TV9  dikelola oleh PT. Dakwah Inti Media adalah perusahaan yang dimiliki organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. TV9 telah memperoleh izin Tetap Penyelenggaraan Penyiaran dari Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia  tertanggal 23 Juli 2012 untuk melakukan siaran di kanal 42 sebagai lembaga penyiaran swasta di Surabaya Jawa Timur.

Ditengah sistem komersial yang terjadi, banyak stasiun televisi berlomba dalam mencari audience oriented untuk survive mereka, namun TV9 lebih memilih sistem dakwah dalam program-program siarannya yang lebih terarah pada segmen oriented, TV9 menunjukkan eksistensinya dalam hal mendidik (educate) masyarakat keseluruhan khususnya warga Nahdiyin untuk memahami lebih dalam Agama Islam (Ahlussunnah Wal Jama’ah).

Data ini terlihat dari beberapa program TV9 seperti, Kiswah, Shallu Alan Nabi, apa kata bu Nyai sebagai pilihan program siarannya. Selama 4 (empat) tahun program-program tersebut menjadi pilihan atas pemirsanya. Mereka menyadari bahwasanya masyarakat banyak yang sudah jenuh terhadap tayangan dari media maenstrem. Banyak masyarakat urban pada waktu liburan bukan mencari hiburan diluar, melainkan mencari hiburan dengan ziarah qubur sunan-sunan.

Masyarakat Surabaya khususnya Warga Nahdiyyin mereka selalu mengkonsumsi pemikiran dan budaya modern melalui stasiun televisi konvensional, sehingga para remaja saat ini sudah lupa dengan eksistensi agama islam, dari situasi inilah TV9 mengemban amanah untuk menyiarkan dakwah islami melalui media massa dengan menempuh jalan mendirikan stasiun televisi dakwah.

Teori struktur, perilaku, dan kinerja atau biasa disebut S-C-P (Structure-Conduct-Performance) (Scherer and Ross,1990:1), merupakan tiga pilar utama yang dapat digunakan untuk melihat kondisi struktur dan persaingan di dunia industri, termasuk pasar media massa. Struktur pasar media yang kepemilikannya terkonsentrasi, sebagaimana indikasi adanya konglomerasi yang terjadi dalam peta persaingan pers daerah di Indonesia, dalam praktiknya mempengaruhi perilaku perusahaan media yang secara bersama-sama menentukan kinerja sistem pasar media di tanah air ini, termasuk di daerah (Surabaya) Jawa Timur.

 Tiga kerangka analisis yang dapat menjelaskan berbagai sisi kerja bisnis industri media televisi. Ketiga kerangka tersebut sekaligus merupakan indikator yang cukup relevan untuk menilai karakteristik industri media televisi karena menyajikan informasi pokok terkait dengan keunikan operasi bisnis media massa televisi. Ketiga kerangka analisis yang dimaksud meliputi struktur ekonomi (structure), operasionalisasi perusahaan (conduct), dan kinerja perusahaan (performance). (Scherer and Ross,1990:2)

Teori S-C-P dalam penelitian ini diaplikasikan untuk memperoleh gambaran analisis organisasi industri, karena adanya hipotesis yang menyatakan bahwa performance atau keberadaan pasar (atau industri) dipengaruhi oleh perilaku perusahaan dalam pasar, sedangkan perusahaan dipengaruhi pula oleh berbagai variabel yang membentuk struktur pasar.

Kemudian teori S-C-P ini dikaitkan dengan pendekatan ekonomi politik media dengan menggunakan teori Komodifikasi, Spasialisasi. Agar dapat mengangkat lebih dalam fenomina-fenomina yang terjadi pada satasiun TV9.

Dari paparan latar belakang di atas penelitian mengenai struktur, prilaku, kinerja industri media televisi adalah hal yeng menarik untuk dilakukan. Mengingat kelebihan televisi yang bisa menghegemoni masyarakat luas, termasuk TV9 yang sudah tersegmen.

Structrure, Conduct, Performance dikaitkan dengan Komodifikasi dan Spasialisasi (Analisis Program Kiswah TV9 Surabaya).

Kiswah tampil apa adanya. Karena kiswah adalah potret pengajian rutin atau pengajian hari besar yang biasa digelar oleh masyarakat santri dan kalangan Nahdliyin. Beberapa televisi lokal mencoba untuk meng-copy konsepsi ini. Namun karena tidak memahami prinsip dasar dakwah sebagaimana prinsip yang dipakai TV9, maka acara turunan tersebut tak menemukan substansi dakwahnya.

Dalam mengembangkan program Kiswah, TV9 menggunakan konsep dasar para mubllaigh NU yang menjalankan dakwahnya dengan cara menghibur dan nyaman. TV9 menyebutnya sebagai Konsepsi Entertained Dakwah. Konsep ini berbeda dengan Dakwah Entertainment, dimana dakwah hanya digunakan sebagai tema dari konsep hiburan yang sudah disiapkan oleh stasiun televisi. Dengan kata lain, dakwah hanya sebagai konten untuk momentum tertentu sebagaimana ramadhan, idul fitri atau momen religi yang ada. Inilah yang terjadi pada Stasiun Televisi mainstream yang ada, sehingga menemui program tayangan Ramadhan di TV tersebut, justru bertentangan dengan substansi pesan Ramadhan yang seharusnya diusung dan disebarluaskan.

Sebaliknya Entertained Dakwah, menjadikan dakwah sebagai substansi. Hiburan adalah cara, metode dan strategi agar dakwah sampai pada kalbu dan laku masyarakat audiens. Bukankah hal ini yang dilakukan para kyai ketika sedang berdakwah. Humor, cerita lucu, ibarat, lagu, syi’ir atau aktivitas lain yang memancing tawa dan gembira adalah sekadar cara memahamkan masyarakat terhadap pesan dakwah yang sebenarnya sangat dalam dan padat. Kyai dan para wali dalam berdakwah lebih memilih menyederhanakan pesan agama menjadi sebuah paket yang mudah dipahami dan dilaksanakan di masyarakat.

Konsepsi Entertained dakwah pula yang digunakan oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dalam menjalankan dakwah menyebar luaskan tradisi bershalawat kepada anak muda dengan qashidah yang luwes, menghibur, asyik, lebih gaul dan tidak terlalu banyak batasan sebagaimana dalam majlis shalawat pada umumnya. Fenomena Habib Syech dengan para penggemarnya yang menamakan diri sebagai Syechermania adalah bentuk lain dari dakwah yang dikemas secara menghibur ala ulama’ terdahulu sebagaimana Sunan Kalijaga dengan Pagelaran Wayang, dan seterusnya.

TV9 mencoba melakukan proses resonansi strategi dakwah dengan jalur kultural semacam ini yang sudah terbukti sukses di masa lalu. Di masa modern ini, Dakwah harus mampu memanfaatkan potensi kekuatan Budaya Populer (Popular Culture) yang kini masih digunakan untuk kepentingan misi sekuler. Berbeda zaman, berbeda strategi. Maka TV9 menggunakan prinsip ini untuk mengupdate strategi dakwah NU di era global ini.

TV9 mencoba menerapkan strategi ‘head to head’ yakni menabrakkan tayangan dakwah di jam sinetron dengan harapan, mengambil sekian persen (walau kecil) para pemirsa untuk melakukan channel switch dikala program tayangan sinetron sedang dalam posisi commercial break atau iklan. Maka disiapkanlah beberapa tayangan dakwah dengan fokus sasarannya adalah para pemirsa perempuan. Paket program itu adalah Kiswah Female dengan menampilkan beberapa performer yang familiar dan disukai kaum perempuan.

Strategi pertama adalah menampilkan para muballighah yang sudah akrab bagi muslimat fatayat dikalangan NU sebagaimana Nyai Hj. Ucik Nur Hidayati melalui program Apa Kata Bunyai. Bu Nyai asli Wonorejo, Pasuruan ini sangat populer di kalangan muslimat-fatayat (sebutan untuk sub segmen perempuan Nahdlatul Ulama), bahkan hingga berceramah diluar negeri sebagaimana Malaysia, Brunai, Hongkong dan China. Nyai Ucik (juga sering dipanggil Ning Ucik) bahkan telah ngetop sejak masih kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan sudah mengisi acara dakwah di Radio-Radio Surabaya di era 1980-1990an.

Daya tarik apa kata Bunyai, juga didukung dengan dihadirkan penonton di studio berasal dari majlis taklim, komunitas muslimat dan fatayat di berbagai tingkatan mulai cabang hingga ranting serta komunitas pengajian ibu-ibu dan remaja putri lainnya. Data dari Produser Program ‘Apa Kata Bunyai’, untuk bisa mendapat giliran tampil sebagai jama’ah dalam program ini mereka harus rela ngantre hingga 2-3 bulan. Belum lagi, tayangan ini disiarkan secara live dan benar-benar ditunggu jam tayangnya.

Selain menampilkan Performer Perempuan, TV9 juga mencoba menampilkan para kyai yang memiliki popularitas di kalangan perempuan sebagaimana KH. Husein Rifai, seorang Dai Kondang jebolan Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang yang kini mengasuh Pondok Pesantren Jabal Noor Sepanjang Sidoarjo. Popularitas Kyai Husein Rifai utamanya terletak pada kualitas suara saat membacakan ayat Al Qur’an disela uraian ceramahnya yang tergolong lugas dan menghibur. Kyai Husein Rifai memiliki tempat tersendiri bagi para pemirsa perempuan yang diharapkan bisa mengimbangi dan bahkan menetralisir kegandrungan mereka pada sinetron.

Proses Komodifikasi dan Spasialisasi TV9

Pendapat Mosco tentang ekonomi politik dapat dipahami secara lebih sederhana, yaitu hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Bila seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan Mosco tentang penguasa lebih ditekankan pada penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan masyarakat. Sedangkan dasar dari kehidupan sosial adalah ekonomi. Maka pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan.

Untuk memahami bagaimana penerapan pendekatan ekonomi politik digunakan dalam studi media massa, ada tiga konsep awal yang harus dipahami, yaitu:

  1. Komodifikasi adalah segala sesuatu dikomoditaskan (dianggap barang dagangan);
  2. Spasialisasi adalah proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial.

1. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Tiga hal yang saling terkait adalah: Isi media, jumlah audience dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiencee. Jumlah audience juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya profit bagi pengusaha.

Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Dengan demikian para produser media mengubahnya menjadi sesuatu yang layak untuk dipasarkan, seperti halnya program acara Kiswah (Kajian Islam Ahlus Sunnah Wal Jama”ah) menjadi barang komersial oleh perusahaan penyiaran.

Untuk mengkaji lebih dalam lagi proses komodifikasi yang dilakukan oleh TV9, perlu kiranya menelisik komodifikasi lebih spesifik lagi, yaitu komodifikasi audien, komodifikasi isi dan komodifikasi pekerja.

a)                  Komodifikasi Audiens.

Audiens dijadikan komoditi para media untuk mendapatkan iklan dan pemasukan. Kasarnya media biasanya menjual rating atau share kepada advertiser untuk dapat menggunakan air time atau waktu tayang. Dalam hal ini Seperti program acara KISWAH Gus Ali, Apa Kata Bunyai bersama Nyai Ucik Nur Hidayati. Untuk kota Surabaya, pemirsa TV9 bisa mencapai 203.864 jiwa dari total 2.548.304 penduduk. Sedangkan di Sidoarjo mencapai 142.236 viewers dari 1.777.947 penduduk. Dengan potensi tersebut, maka TV9 bisa dikatakan sebagai televisi yang memiliki basis pemirsa yang paling kuat di antara stasiun televisi yang ada.

TV9 juga menggunakan konsepsi entertained dakwah yang digunakan oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dalam menjalankan dakwah menyebarluaskan tradisi bershalawat kepada anak muda dengan qashidah yang luwes, menghibur, asyik, lebih gaul dan tidak terlalu banyak batasan sebagaimana dalam majlis shalawat pada umumnya.

Fenomena Habib Syech dengan para penggemarnya yang menamakan diri sebagai Syechermania adalah bentuk lain dari dakwah yang dikemas secara menghibur ala ulama’ terdahulu sebagaimana Sunan Kalijaga dengan Pagelaran Wayang, dan seterusnya. Semua ini dibuat atas dasar segmen yang sudah ada yaitu warga NU dan Muslimah Fatayat NU, untuk muslimah fatayat NU mereka rela menunggu 2-3 minggu untuk hadir dan menonton langsung acara Apa Kata Bu Nyai yang dipandu oleh Ibu Nyai Ucik Nur Hidayati, dengan format pengajian wanita, dengan jamaah dan presenter untuk membahas dan mengkaji permasalahan yang sering timbul di lingkungan kehidupan masyarakat. Cara Nyai Ucik membawakan materi, sangat khas para Ibu nyai pesantren, lengkap dengan selingan humor dan lantunan shalawat dan nyanyian keagamaan.

b)                  Komodifikasi Konten.

Konten media dibuat sedemikian rupa sehingga agar benar-benar menjadi kesukaan publik meski hal itu bukanlah fakta dan  kebutuhan publik. Pengesahan segala cara dilakukan demi mendapat perhatian audiens yang tinggi.  Hal ini terbukti program acara Kiswah Gus Ali, Apa Kata Bunyai bersama Nyai Ucik Nur Hidayati, mampu menyedot perhatian masyarakat. Untuk kota Surabaya, pemirsanya bisa mencapai 203.864 jiwa dari total 2.548.304 penduduk, sedangkan di Sidoarjo mencapai 142.236 viewers dari 1.777.947 penduduk. Ini akan menimbulkan efek terhadap pengelola media, yaitu bisa menyedot perhatian pengiklan untuk memasang iklan terhadap acara tersebut.

Kemudian TV9 menjadikan konsep dakwah berkonsepsi entertained dakwah, terbukti dengan adanya program Kiswah dengan karakter seorang muballigh yang lucu, guyonan, keislaman, dan dalam konsep islam yang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Konsepsi entertained dakwah pula yang digunakan oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dalam menjalankan dakwah dan menyebarluaskan tradisi bershalawat kepada anak muda dengan qashidah, asyik, lebih gaul dan tidak terlalu banyak batasan seperti majelis shalawat pada umumnya.

c)                   Komodifikasi Pekerja.

Seperti yang sudah digambarkan sebelumnya, pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi. Bukan hanya produksi sebenarnya, tapi juga distribusi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa, walaupun dengan upah yang tak seharusnya.

Tagline Santun Menyejukkan adalah Jati Diri. Seluruh program tayangan harus mengacu kepada prinsip ini. Demikian pula dengan perilaku pimpinan dan karyawan pun tak boleh keluar dari garis ini. Santun adalah akhlaqul karimah (etika mulia) yang menjadi misi diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Menyejukkan adalah karakter para ulama’ salafus-shalihin dalam berdakwah dan menyebarkan kebenaran dengan kesabaran dan kesejukan.

2. Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktek ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996).

Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.

Dalam rangka menunjang penyiaran dan kenyamanan khalayak ramai TV9 sudah menggunakan tehnologi yang berbasi IT dan penggunaan internet dan satelit, di antranya yaitu menggunakan acount jejaring sosial seperti facebook (https://www.facebook.com/santun.menyejukkan) dan menggunakan Website (http://tv9.co.id/). Dan sekarang TV9 sudah menggunakan streeming, Uc TV yang bekerja sama dengan Telkom, Big TV (TV Cable) semua ini dalam rangka memudahkan pemirsanya untuk mengakses program acara TV9.

Dalam menjalankan bisnis penyiaran ini, TV9 tidak berdiri sendirian. PT. Dakwah Inti Media sebagai perusahaan yang kepemilikan sahamnya PT. Nusantara Utama (PT NUS) sebagai pemilik modal 100% saham PT. Dakwah Inti Media (TV9) yang kemudian melakukankerja sama dengan perusahaan lokal Jawa Timur yang memiliki jaringan bisnis Nasional maupun bahkan Internasional, yaitu PT. Siantar Citra Televisi (SCT. Siantar Top Group) dengan proporsisi 70:30% untuk PT. NUS dan PT. SCT.

TV9 juga memberikan layanan baru yang diberi nama Ninestore ini bisa menjadi sumber pemasukan bagi TV9 mengingat jumlah pemirsa yang menjadi pembeli bagi produk-produk yang ditayangkan dan kemudian dijual melalui Ninestore, hal ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam setahun terakhir. melalui Ninestore, slot iklan yang tak terjual dapat dibeli sendiri oleh Ninestore untuk menawarkan produk yang akan dijual, sementara TV9 akan mendapat prosentase dari hasil direct selling dengan rabat yang lebih tinggi dibandingkan reseller reguler. Melalui Ninestore, TV9 juga memberi kesempatan kepada UKM atau perusahaan home industri yang tidak memiliki anggaran promo di TV, karena pembayaran iklan mereka dilakukan kalau produknya terjual (paid by result), yakni prosentase (30-50%) dari harga produk yang dijual per unitnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada industri media TV9 di Surabaya, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu sebagai berikut:

  1. Komodifikasi dihubungkan dengan Structure, Conduct, Performance TV9;

Dalam mengembangkan program Kiswah, TV9 menggunakan konsep dasar para mubllaigh NU yang menjalankan dakwahnya dengan cara menghibur dan nyaman. TV9 menyebutnya sebagai Konsepsi Entertained Dakwah. Konsep ini berbeda dengan Dakwah Entertainment, dimana dakwah hanya digunakan sebagai tema dari konsep hiburan yang sudah disiapkan oleh stasiun televisi.

Hal ini bisa di uraikan dengan tiga pembagian komodifikasi yaitu;

a.       Komodifikasi Audiens; Audiens dijadikan komoditi para media untuk mendapatkan iklan dan pemasukan. Dalam hal ini Seperti program acara KISWAH Gus Ali, Apa Kata Bunyai bersama Nyai Ucik Nur Hidayati. Untuk kota Surabaya, pemirsa TV9 bisa mencapai 203.864 jiwa dari total 2.548.304 penduduk. Sedangkan di Sidoarjo mencapai 142.236 viewers dari 1.777.947 penduduk. Dengan potensi tersebut, maka TV9 bisa dikatakan sebagai televisi yang memiliki basis pemirsa yang paling kuat di antara stasiun televisi yang ada.

TV9 juga menggunakan konsepsi entertained dakwah yang digunakan oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dalam menjalankan dakwah menyebarluaskan tradisi bershalawat kepada anak muda dengan qashidah yang luwes, menghibur, asyik, lebih gaul dan tidak terlalu banyak batasan sebagaimana dalam majlis shalawat pada umumnya.

Fenomena Habib Syech dengan para penggemarnya yang menamakan diri sebagai Syechermania adalah bentuk lain dari dakwah yang dikemas secara menghibur ala ulama’ terdahulu sebagaimana Sunan Kalijaga dengan Pagelaran Wayang, dan seterusnya. Semua ini dibuat atas dasar segmen yang sudah ada yaitu warga NU dan Muslimah Fatayat NU, untuk muslimah fatayat NU mereka rela menunggu 2-3 minggu untuk hadir dan menonton langsung acara Apa Kata Bu Nyai yang dipandu oleh Ibu Nyai Ucik Nur Hidayati, dengan format pengajian wanita, dengan jamaah dan presenter untuk membahas dan mengkaji permasalahan yang sering timbul di lingkungan kehidupan masyarakat. Cara Nyai Ucik membawakan materi, sangat khas para Ibu nyai pesantren, lengkap dengan selingan humor dan lantunan shalawat dan nyanyian keagamaan.

b.      Komodifikasi Konten.

TV9 menjadikan konsep dakwah berkonsepsi entertained dakwah, terbukti dengan adanya program Kiswah dengan karakter seorang muballigh yang lucu, guyonan, keislaman, dan dalam konsep islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Konsepsi entertained dakwah pula yang digunakan oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dalam menjalankan dakwah dan menyebarluaskan tradisi bershalawat kepada anak muda dengan qashidah, asyik, lebih gaul dan tidak terlalu banyak batasan seperti majelis shalawat pada umumnya.

Program Kiswah mampu menarik perhatian masyarakat Jawa Timur khususnya warga NU. Karena program ini tidak tertuju pada satu kalangan melainkan terdapat beberapa fariasi yaitu; Kiswah Junior, Kiswah Female, Kiswah Malam.

c.       Komodifikasi Pekerja.

Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi. Bukan hanya produksi sebenarnya, tapi juga distribusi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa, walaupun dengan upah yang tak seharusnya.

Tagline Santun Menyejukkan adalah Jati Diri. Seluruh program tayangan harus mengacu kepada prinsip ini. Demikian pula dengan perilaku pimpinan dan karyawan pun tak boleh keluar dari garis ini. Santun adalah akhlaqul karimah (etika mulia) yang menjadi misi diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Menyejukkan adalah karakter para ulama’ salafus-shalihin dalam berdakwah dan menyebarkan kebenaran dengan kesabaran dan kesejukan.

  1. Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.

Ada dua kategori spasialisasi yang dilakukan oleh TV9 yaitu;

a.       Spasialisasi Horizontal yaitu; TV9 menggabungkan antara dengan perusahaan lain yaitu PT. Nusantara Utama (PT NUS) dan PT. Siantar Citra Televisi (SCT. Siantar Top Group) yang kemudian menjadi PT. Dakwah Inti Media (TV9). Dalam rangka menunjang penyiaran dan kenyamanan khalayak ramai, TV9 menggunakan tehnologi yang berbasi IT dengan penggunaan internet dan satelit, di antranya yaitu menggunakan acount jejaring sosial seperti facebook, twitter, youtube dan menggunakan Website. Sekarang TV9 sudah menggunakan streeming, Uc TV yang bekerja sama dengan Telkom, Big TV (TV Cable) semua ini dalam rangka memudahkan pemirsanya untuk mengakses program acara TV9.

b.      Spasialisasi Vertikal; spasialisasi horizontal juga dilakukan demi menjaga survive TV9 dalam berdakwah. Hal ini tercermin pada kerjasama yang dilakukan oleh TV9 dengan majalah AULA NU. Majalah ini bergerak dalam kegiatan feminim. TV9 juga memberikan layanan baru yang diberi nama Ninestore ini bisa menjadi sumber pemasukan bagi TV9 mengingat jumlah pemirsa yang menjadi pembeli bagi produk-produk yang ditayangkan dan kemudian dijual melalui Ninestore.

Melalui Ninestore, TV9 juga memberi kesempatan kepada UKM atau perusahaan home industri yang tidak memiliki anggaran promo di TV, karena pembayaran iklan mereka dilakukan kalau produknya terjual (paid by result), yakni prosentase (30-50%) dari harga produk yang dijual per unitnya.

Dalam rangka mempermudah khlayak ramai TV9 kedepannya akan melakukan yang namanya convergency media dengan membentuk NU Media Networking, sehingga program tayang TV9 bisa di akses dimana pun dan kapan pun.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badjuri, Adi. 2010. Jurnalistik Televisi. Yogyakarta : Graha Ilmu

Effendi, Onong. 2002. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdarika.

Morissan. 2008. Menejemen Media Penyiaran, Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Sudibyo, Agus, 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta. LKIS

F. M. Scherer and David Ross, Industrial Market Structure and Economic Performance, third edition, Boston:Houghton Mifflin Company, 1980

Golding, Peter dan Murdock, Graham (Ed). The Political Economy Of The Media, Volume 1. Cheltenhamuk: Edward Elgar Publishing Limited, 1997.

 

INTERNET

http://bincangmedia.wordpress.com/2011/10/13/analisis-industri-pers-pendekatan-s-c-p/ Posted on 13 October 2011

http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/Artikel_detail-70806-Ekpol%20Media-Relasi%20Ideologi,%20Media%20Massa%20dan%20Ekonomi%20Politik%20media.html posted on 11 Januari 2013-dalam ekpol media oleh yayan-s-fisip.

Proposal Skripsi 2013



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kedudukan media massa dalam politik menempati posisi yang sangat penting. Keberadaan media massa bahkan dapat menjadi ukuran atau barometer sistem politik. Sebuah sistem politik yang mengekang media massa akan bisa dipastikan sebagai sistem politik yang mengekang media secara keseluruhan. Dengan kata lain sistem politik yang mengekang media adalah sistem politik otoriter. Sedangkan sistem politik yang memberi kebebasan kepada media adalah sistem politik yang demokratis.
            Dengan demikian hubungan media dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sistem politik yang demokratis akan menjamin kebebasan media, sedangkan sistem politik yang tirani akan mengekang media.
      Besarnya pengaruh politik terhadap kehidupan media disebabkan karena hakikat media massa adalah alat komunikasi dengan massa. Sedangkan massa memiliki peran yang penting dalam politik modern. Partai politik atau politisi memerlukan massa untuk meraih kemenangan dalam pemilihan umum.
      Dalam hubungannya dengan politik, media pada dasarnya adalah sub-sistem dari sistem politik. Media akan tunduk kepada sistem politik. Di banyak kasus, media mampu memengaruhi politik, namun hal itu hanya terjadi bila ada kebebasan media massa. Dalam sistem politik yang terbuka dan demokratis, media memiliki peran yang sangat kuat. Namun dalam sistem politik yang mengekang, pengaruh pers tidak dapat terjadi secara signifikan dan instant.
      Begitu besarnya pengaruh media dalam masyarakat yang demokratis sehingga media ditempatkan sebagai pilar keempat negara (the fourth estate). Ada yang berpendapat bahwa istilah  the fourth estate adalah sebagai tambahan teori trias politika-nya Montesquieu yaitu eksekutif (pemerintah), legislatif (parlemen, pembuat undang-undang) dan yudikatif (badan peradilan/ penegak hukum).
      Begitu banyak perdebatan mengenai hubungan pers dan politik akan membawa kita kepada perdebatan teori-teori pers yang telah dirumuskan sejak usainya perang dunia II. Teori pers yang dikenal dirumuskan berdasarkan praktik sistem sosial politik dan ideologi di dunia pada masa perang dingin. Adapun teori pers yang di maksudkan yaitu ada empat macam teori yang pada mulanya teori pers disusun oleh Siebert dan kawan-kawan (1956) yang terkenal dengan bukunya berjudul four theories of the pers  yang telah di terjemahkan dalam bahasa indonesia ”Empat Teori Pers”. Menurut Siebert teori pers di dunia terdapat empat yaitu: teori otoriter, teori liberal, teori tanggung jawab sosial, dan teori media soviet.
      Menanggapi empat teori pers, ahli komunikasi massa Denis McQuail menambahkan dua teori pers yaitu teori pers pembangunan dan teori pers demokratis-partisipan.[1] Sementara Anwar arifin dari Universitas Hasanuddin merumuskan sistem pers Pancasila.[2]
      Dalam melihat sistem pers atau sistem media yang telah diuraikan di atas, tampaknya lebih relevan melihat teori pers itu dari kacamata serba masyarakat (society centered) bahwa pers bersikap melayani kepentingan sistem politik dan tunduk kepada sistem politik. Teori pers yang digagas para ahli komunikasi di atas adalah sub atau bagian dari sistem politik yang ada. Tatkala sistem politik otoriter berlaku maka sistem pers juga otoriter, dan ketika arus politik menggulung sistem otoriter maka sistem pers otoriter juga tergeser.
Media massa adalah salah satu hal yang saat ini memilki pengaruh yang besar dan sangat penting di era informasi ini. Media massa memiliki kemappuan yang maha dahsyat untuk mempengaruhi khalayak. Banyak hal bisa terjadi karena media massa. Media massa dewasa ini telah mengalami kemajuan yang sangat  cepat, dibuktikan dengan munculnya new media yang merupakan hasil dari perkembangan teknologi dan komunikasi. Bila tidak ada hukum yang mengatur media massa maka kebebasan berpendapat dan berekspresi akan menjadi kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Sesuai dengan fungsi hukum, yaitu (a) menyelesaikan masalah (b) mengendalikan masyarakat (c) menggerakan perubahan masyarakat.[3] Semua kegiatan yang kita lakukan ada hukum yang jelas yang mengaturnya. Dan hukum yang mengatur media massa memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, serta memberikan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dalam hal ini peneliti ingin lebih komfrehensif dengan teori otoriter yang dikaitkan dengan keadaan di masyarakat bangkalan, yang menurut peneliti bangkalan masih menerapkan sistem politik yang otoriter dengan demikian media yang ada di bangkalan menjadi oteriter. Menurut teori ini, pers berkembang pada zaman pra-demokrasi di mana kekuasaan sangat besar di tangan negara. Pers diabdikan untuk melayani kepentingan negara, kerajaan, dan kaum bangsawan, sensor preventif dan kewenangan negara untuk mencabut izin bila pers dianggap tidak sejalan dengan kebijakan negara. Teori ini memang banyak dijalankan oleh negara-negara Monarchi absolut di Eropa pada abad ke-17, namun bentuknya tidak mustahil muncul kembali saat ini, khususnya di daerah Kbaupaten Bangkalan.
1.2  Rumusan Masalah
ü  Seberapa besarkah pengaruh sistem politik dan hukum terhadap media massa di kota bangkalan ?
ü  Apa dampak yang telah di terapkan oleh sistem politik dan hukum terhadap media massa di kota bangkalan?
1.3  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini begitu besar bagi peneliti sendiri agar supaya mengerti arus politik dan hukum yang imbasnya terhadap media massa, apakah media menjadi tunduk terhadap pemerintah atau malah sebaliknya. Dengan ini peneliti berharap kajian ini bermanfaat terhadap khalayak ramai terutama terhadap masyarakat bangkalan itu sendiri yang menurut peneliti masih belum banyak yang memahami sehingga masyarakat mengikuti arusnya politik yang telah di sebarluaskan media dengan tanpa menfilternya.
1.4  Manfaat Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan ini, peneliti berharap dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:
ü  Menginformasikan kepada masyarakat atas berjalannya sistem media massa yang telah di lingkupi atas peraktek sistem politik.
ü  Bagi peneliti sendiri lebih mengerti akan sistem yang telah terjadi di kota bangkalan.
1.4.1        Manfaat Teoritis
Di pandang dari sudut teori, pada dasarnya teori otoriter sudah gulung tikar sejak abad ke-17, namun bentuknya tidak mustahil muncul kembali saat ini khususnya di daerah kota bangkalan sendiri. Di kota bangkalan sendiri bisa di katakan teori otoriter masih berlaku meskipun sistem indonesia menggunakan sistem demokrasi.
1.4.2        Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi dan mengembangkan pemahaman masyarakat terhadap dunia Media, pers, demokratisasi, responsivitas dan sistem politik serta hukum yang ada saat ini.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1  Landasan Teori
Pengaruh Sistem politik dan hukum terhadap media itu sangat earat kaitannya, seperti yang telah di uraikan di atas bahwa hubungan media dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sistem politik yang demokratis akan menjamin kebebasan media, sedangkan sistem politik yang tirani akan mengekang media.
      Besarnya pengaruh politik terhadap kehidupan media disebabkan karena hakikat media massa adalah alat komunikasi dengan massa. Sedangkan massa memiliki peran yang penting dalam politik modern. Partai politik atau politisi memerlukan massa untuk meraih kemenangan dalam pemilihan umum.
      Dalam hubungannya dengan politik, media pada dasarnya adalah sub-sistem dari sistem politik. Media akan tunduk kepada sistem politik. Di banyak kasus, media mampu memengaruhi politik, namun hal itu hanya terjadi bila ada kebebasan media massa. Dalam sistem politik yang terbuka dan demokratis, media memiliki peran yang sangat kuat. Namun dalam sistem politik yang mengekang, pengaruh pers tidak dapat terjadi secara signifikan dan instant. Dalam hal seperti ini kita perlu mengetahui devinisi dari sample-sample di atas, seperti politik, hukum dan media massa. Di bawah ini adalah uraiannya:
21.1. Politik
      Istilah Ilmu Politik (science politique) pertama kali di gunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada tahun 1576, kemudian Thoma Fitzherbert dan Jeremy Bentham pada tahun 1606. Akan tetapi, istilah politik yang dimaksudkan adalah ilmu negara.[4]  Menurut Miriam Budihardjo, politik mempunyai bermacam-macam definisi sehingga memperlihatkan demikian luas pengertian dan definisi politik. Lebih jauh, politik adalah suatu kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut dalam sistem itu.
Dalam pandangan Ramlan Surbbakti, berdasarkan pada perkembangannya dari masa klasik hingga modern, sekurang-kurangnya terdapat lima pandangan tentang politik. Pertama, politik adalah usaha yang di tempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang di arahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat,  politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang di anggap penting.[5] Dari penjabaran di atas,
2.1.2. Hukum
Menurut J. C. T. Simorangkir SH, hukum dalah peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan-badan resi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi mengakibatkan tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.[6] Prof. Mr. E. M. Meyers, hukum adalah aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam tugasnya.[7]
Media Massa (mass media) terdiri dari dua kata yaitu “media” dan “massa”. Penjelasan berikut ini lebih merupakan pemahaman arti kata dalam masyarakat, bukan sisi etimologis, karna pengertian media dari perkembangan teknologi, sosial politik dan persepsi masyarakat terhadap media.[8]
2.1.3. Media
Kata media dekat dengan pengertian “medium”, “moderat” yang berarti tengah, sedang, penengah atau penghubung. Kalau kita mendengar kata mediasi berarti suatu usaha untuk menengahi atau menyelesaikan masalah dengan cara menjadi penengah atau menghubungkan suatu pihak dengan pihak yang lain.
Pengertian secara sosial-politis, “media” kemudian bergeser menjadi suatu “tempat”, “wahana”, “forum” atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga penghubung”, lembaga yang berada di antara rakyat dan pemerintah, dan sekelompok orang di tempat lain.
Kata kedua yang melekat dalam kata media adalah “massa”. Kata massa sering kali diartikan dalam dua sisi yang berbeda. Bagi kalangan yang menghendaki suatu kemapanan (establishment), atau yang tidak menghendaki suatu perubahan, kata massa adalah suatu yang berkonotasi negatif. Bahkan dalam masyarakat sehari-hari kata massa adalah suatu yang menakutkan. Lihatlah kalimat yang sering kita dengar: “Massa sudah datang”. “Massa tidak dapat dikendalikan”, “Jangan sampai menyulut kemarahan massa”. Tetapi kalangan sosialis atau mereka yang berkepentingan terhadap massa seperti partai politik melihat massa sebagai suatu yang positif dan bahkan memberikan penghargaan tinggi. Ungkapan sehari-hari yang kita dengar “demi rakyat”, “kepentingan publik” adalah sinonim dari kata “massa”.
Kata “massa” dalam media massa, sebenarnya tidak berkonotasi negatif ataupun positif. Massa dalam pengertian disini adalah suatu yang tidak pribadi, sesuatu yang tidak personal, melainkan sesuatu yang berhubungan “orang banyak”.
Dengan demikian media massa[9] adalah suatu lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga yang netral bagi semua kalangan atau masyarakat banyak. Sering kali media massa juga diartiakan sebagai penengah antara massa dan elit. Forum yang menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah, dan sebagainya. istilah media massa akan dipendekkan menjadi media.
2.2  Kerangka Konsep
Variabel berasal dari kata bahasa Inggris Variable yang berarti factor tak tetap atau berubah-ubah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia Kontemporer telah terbiasa menggunakan kata variabel adalah fenomena yang bervariasi dalam bentuk, kualitas, kuantitas, mutu standart dan sebagainya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel adalah sebuah fenomena yang berubah-ubah.
2.2.1        Variabel Independent
Variable ini adalah sejumlah gejala atau faktor yang mempengaruhi atau munculnya gejala atau faktor serta unsur lain, yang pada gilirannya gejala atau faktor atau unsur yang ke dua yang disebut dengan variabel terikat. Variabel bebas ini biasanya disebut dengan variabel X.
Dalam penelitian ini variabel bebasnya (X) adalah Sistem Politik dan Hukum.
2.2.2    Variabel Dependent
Variabel dependent atau terikat adalah sejumlah gejala atau factor atau unsur  yang ada atau muncul dan dipengaruhi atau ditentukan oleh adanya variabel bebas. Variabel terikat ini biasanya disebut dengan variabel Y. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah Media.


2.3  Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Variabel
Hasil
PIPIT LESTARI (2010)
HUKUM MEDIA MASSA DAN KONVERGENSI MEDIA DI INDONESIA

X= Hukum Media
Y= Konvergensi Media di Indonesia
Dari hasil yang di paparkan bahwasanya pengaruh hukum media sangat mendomenasi percepatan media itu sendiri, baik dalam ranah nasional maupun internasional. Peningkatan tenologi informasi dan komunikasi, khususnya  melalui kegiatan telekomunikasi secara terus menerus mengubah perekonomian local, nasional, regional, dan internasional menjadi jaringan ekonomi berjaringan yang merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat informasi (Information society). Sehingga bisa dikatakan Media sebagai alat mengkomunikasikan kepada Massa.

Sumber : Internet, dengan judul Hukum Media Massa Dan Konvergensi Media Di Indonesia, oleh Pipit Lestari.

BAB III
METODE PENELITIAN
Salah satu kerangka dasar dalam Penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif dengan mengambil judul ”pengaruh antara Sistem Politik beserta Hukum terhadap Media Massa. Pengaruh paling sederhana dari ketiga variabel tersebut adalah pengaruh langsung di mana sistem politik dapat mempengaruhi hukum kemudian hukum mempengaruhi Media Massa. Dalam pengaruh ketiga komponen tersebut saling mempengaruhi termasuk adanya faktor-faktor lain seperti Sistem Politik, Undang-undang, yang semua itu akan berdampak terhadap sistem Media yang berada di kota bangkalan ini.
Seperti yang telah di uraikan tentang berbagai Teori/ sistem media yang pernah ada di dunia ini. Di lihat dari serba pandangan masyarakat (sosiety centered) di sini kita bisa melihat sistem politik secara langsung mempengaruhi media. Pandangan serba masyarakat melihat media massa merupakan hasil dari proses perubahan sejarah. Keberadaan media sangat bergantung kepada kondisi sosial politik dan budaya masyarakatnya.[10]
Pengaruh sistem politik kepada media, selain secara langsung sebagaimana terlihat dalam proses pengaruh politik kepada sistem media, juga bisa dilakukan melalui lembaga lain yaitu hukum. Politik bisa memengaruhi sistem media melalui hukum. Untuk itu terlebih dahulu perlu di jelaskan mengenai hubungan antara politik dan hukum.
Secara umum bisa di katakan bahwa politik adalah kegiatan manusia dalam suatu sistem pilitik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat bukan merupakan tujuan pribadi.[11]
Politik berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial. Masyarakat yang menghendaki tujuan tertentu akan menggunakan upaya-upaya politik. Upaya-upaya politik ini bilamana mencapai suatu kesepakatan antar kesatuan plitik harus memiliki legitimasi untuk dapat di realisasikan. Kesepakatan-kesepakatan yang telah disahkan itulah yang di namakan hukum. Hukum perundang-undangan, merupakan bagian penting dari keluaran (out put) yang di hasilkan oleh sistem politik.[12]
Gambar 1.
HUBUNGAN SISTEM POLITIK, HUKUM, DAN MEDIA
Sistem Politik


 
Sistem (tata) Hukum
                        Sistem Media
Sumber : Hari Wiryawan, 2007.
Keterangan      : Sistem Media dipengaruhi oleh sistem politik baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui sistem hukum.
Bila sebuah sistem politik menghendaki adanya kehidupan media yang dapat dikendalikan kekuasaan, maka akan lahir hukum media yang mengendalikan media (media otoriter) yang bisa diartikan juga media pembangunan. Bila sistem politik menghendaki sebuah sistem yang bebas, maka akan lahir sebuah hukum media yang bebas pula.
Meskipun hubungan-hubungan tersebut tidak sesederhana di atas, namun pengalaman sejarah menunjukkan bahwa hukum tekah digunkan oleh sistem politik sesuai dengan kehendaknya.
Pada masyarakat yang organisasinya didasarkan atas kekuasaan, maka masyarakat itu tidak terlalu membutuhkan hukum. Namun pada masyarakat yang di atur oleh hukum, maka hukum tidak hanya berfungsi membatasi, melainkan juga mengawasi dan menyalurkan kekuasaan.[13]
Dengan kata lain, hukum menampilkan dua muka yaitu sebagai alat pengawas sosial (social control) dan sebagai alt untuk perubahan atau rekayasa sosial (social engeenering).
Gambaran sebagaimana disebut di atas bahwa hukum dapat digunakan oleh kekuatan politik untuk mengatur media adalah fungsi hukum sebagai social control. Berikut ini akan di gambarkan bagaimana hukum sebagai social engeenering mengatur agar hubungan politik dan media bia berlangsung secara lebih sehat.
Hukum Mengatur Politik Dan Media
            Dalam sistem politik yang totaliter, peranan hukum mengecil apabila dibandingkan dengan kekuasaan. Akan tetapi dalam sistem politik yang demokratis peranan hukum makin membesar.[14]
            Negara indonesia yang sejak tahun 1998 memasuki era reformasi, pada hakekatnya juga memasuki sistem demokrasi welfer state (negara kesejahteraan). Meskipun Indonesia belum sepenuhnya memenuhi kriteria sebuah negara demokrasi yang berdasarkan rule of law, namun beberapa elemen tersebut sudah memenuhi persyaratan. Sebuah negara yang berlandasan pada asas rule of law  mensyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Perlindungan konstitusional, dalam artian bahwa konstitusi selain  menjamin hak individu harus menentukan pula cara untuk memperoleh perlindungan hak-hak yang di jamin.
2.      Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3.      Pemilihan umum yang bebas
4.      Kebebasan menyatakan pendapat
5.      Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6.      Pendidikan kewarganegaraan (civic education)[15]
Dalam upaya memperoleh kekuasaan seseoranga atau sebuah partai politik perlu melakukan proses-proses politik. Pada masyarakat demokratis upaya memperoleh kekuasaan itu di atur melalui hukum. Dalam upaya memperoleh kekuasaan itulah hukum mengatur tentang mekanisme politik. Mekanisme itu mengatur bahwa kekuasaan dapat di peroleh dengan cara-cara damai yang menggunakan legitimasi dukungan dari masyarakat yaitu melalui lembaga pemilihan umum. Kekuasaan tidak boleh di pertahankan dengan cara kekeraan dan melalui dukungan senjata.
Karena faktor dukungan massa itu sangat pengting, maka setiap kekuatan politik berlomba-lomba memperoleh simpati dari massa, bukan berlomba-lomba menakut-nakuti massa.
Di sinilah terjadi interaksi antara kepentingan politik yang mencari massa dengan kepentingan media yang mempunyai akses kepada massa. Politik ingin meraih massa sebagai legitimasi kekuasaan, sedangkan media ingin meraih massa sebagai legitimasi profesionalisme.
Pemahaman profesionalisme dilihat dari kacamata media memiliki dua arti. Pertama, profesionalisme materi atau isi dari media massa. Kedua, profesionalisme dalam arti kepentingan ekonomi.
Dalam media massa yang dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis, media massa adalah sebuah perusahaan yang pada umumnya adalah perusahaan swasta. Dalam perusahaan media tersebut, kaum profesional, khususnya wartawan, menghendaki profesionalisme untuk dapat mengakses sumber-sumber informasi penting yang dimiliki kaum politisi secara langsung dan menyiarkan secara bebas kepada massa.
Sedangkan bagi perusahaan media, aspek profesionalisme adalah untuk pengembangan bisnis yang merupakan pertimbangan penting. Dalam hal ini kedekatan dengan politisi diharapkan dapat memberikan kelonggaran untuk pengembangan bisnis media.
Dalam interaksi inilah hukum mengatur penggunaan media massa untuk kepentingan politik. Karena politik identik dengan kekuasaan, maka hukum mengatur hubungan antara kekuasaan dan media massa.
Pakar hukum Roscue Pond mengatakan bahwa hukum berfungsi untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial. Hukum merupakan refleksi dari masyarakat dan juga memengaruhi masyarakat. Dengan demikian hukum merupakan produk sosial. Tetapi sekaligus merupakan kekuatan sosial, sebagai produk sosial.[16]
Hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, melainkan berada pada kedudukan yang kait mengait dengan sektor kehidupan yang lain. Karena itu hukum harus melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan masyarakat.[17] Disini hukum terlihat memiliki kelenturan dengan lingkungannya, termasuk dengan lingkungan politik.
Hukum media adalah salah satu sarana yang bertujuan untuk mengatur media massa. Namun hukum media bukan satu-satunya cara mengatur media massa. Komitmen para politisi, kalangan bisnis, dan masyarakat akan menentukan bagaimana suatu pengaturan media massa berlangsung.
Secara teori, peraturan hukum itu akan selalu terlambat mengikuti perkembangan zaman karena sifatnya yang kaku (Rigid). Namun, pada dasarnya semua peraturan itu akan menjadi efektif jika masyarakat mau menerapkannya , termasuk media pers. kekuatan politik di Indonesia sudah tidak membuat media berpihak pada media independen. Tidak bisa dipungkiri kekuatan partai politik mempengarugi berita yang ditampilkan media. Contoh nya, metro TV yang dimiliki Surya Paloh dari Nasional Demokrat. Meskipun tidak melanggar hukum, tapi sesungguhnya norma etika dalam masyarakat sudah dicederai, karena sekecil apapun, keberpihakan itu pasti terlihat.
Untuk kondisi Indonesia saat ini, Hukum Media apakah mungkin bersifat Lex Specialis? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita perlu mengetahui lex specialis itu apa. Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Asas ini bermakna bahwa ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. Asas ini hanya dapat dijadikan acuan apabila derajat perundang-undangan tersebut sama.[18] Atau bisa diartikan hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.  Jadi, menurut saya jawaban atas pertanyaan tadi mungkin saja, karena ada UU pers, contohnya, dalam KUHP diatur mengenai pelecehan nama baik. Seandainya media melakukan pelecehan nama baik, yang dipakai kan UU Pers bukan KUHP.






Daftar Pustaka
Wiryawan, Hari, Dasar-dasar Hukum Media, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2007.
Denis McQuuail, Op. Cit., h. 153.
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, Jakarta, Penerbit Media Sejahtera, 1992, h. 53.
Abdul R. Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Bayumedia, 2005, hal.32-37.
Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 8.
Soeryono Sukanto dan Othe Salman, Disiplin Hukum dan Di Siplin Sosial (Bahan bacaan awal), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, h. 160.
Soerjono Soekanto & Othe Salman, Op. Cit., h. 109.
Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 60.
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1982 h. 69.
Satjipto Rahardjo, Op. Cit., h. 334.











[1] Denis McQuuail, Op. Cit., h. 153.
[2] Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, Jakarta, Penerbit Media Sejahtera, 1992, h. 53.
[3] Abdul R. Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Bayumedia, 2005, hal.32-37.

[4] Hafied Cangara. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: Rajawali Pers. 2009, hal. 26.
[5] Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. 1999. hal. 1-2.
[6] C. S. T. Kansil, 1986, Pengaturan Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai pustaka, Jakarta, h: 36
[7] Ibid
[8] Denis McQuail, Op. Cit., h. 10.
[9] Michel Agnes (ed), webter’s New Whorld Dictionary and Thesaurus, MacMillan, USA, 1996 menyebutkan bahwa “mass media” adalah those means of communication that reach large number of people, as newspapers, radio etc.
[10] Cara pandang lain dalam melihat media adalah pandangan serba media (media centered). Disini media di lihat sebagai pusat penggerak masyarakat dan media di anggap memiliki kekuatan besar untuk menggerakkan dan mengubah masyarakat. Lihat Denis McQuail, Op. Cit., h. 60.
[11] Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 8.
[12] Soeryono Sukanto dan Othe Salman, Disiplin Hukum dan Di Siplin Sosial (Bahan bacaan awal), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
[13] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, h. 160.
[14] Soerjono Soekanto & Othe Salman, Op. Cit., h. 109.
[15] Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 60.
[16] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1982 h. 69.
[17] Satjipto Rahardjo, Op. Cit., h. 334.
[18] Abdul R. Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, bayumedia: Malang, 2005.

PROPOSAL PELATIHAN

            PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA       ” PELATIHAN PEMBUATAN BLOG PENDIDIKAN BAGI GURU-GURU DI KOTA BANGKALA...